Harapan Dinas Perhubungan (Dishub) Banjarmasin pupus untuk menjadikan lahan kosong di kawasan RE Martadinata sebagai tempat kegiatan bongkar muat truk pengangkut barang. Padahal keberadaan truk yang melakukan aktivitas bongkar muat di pinggir jalan masih marak terjadi di beberapa titik di Kota Banjarmasin.
Selain dianggap meresahkan pengguna jalan, kegiatan ini juga kerap merongrong hak pejalan kaki alias pejalan kaki. Di trotoar sering ditutupi atau ditempatkan berbagai barang bongkar muat.
Dinas Perhubungan Banjarmasin justru sedang memutar otak untuk menghadapinya. Dishub berencana menggandeng Pelabuhan Indonesia (Pelindo) untuk ikut menangani masalah tersebut. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan kosong milik Pelindo. Tepatnya di bekas Pelabuhan Tua Martapura (Marla), di Jalan RE Martadinata. Belakangan diketahui bahwa ide ini tidak dapat dilaksanakan. Kepala Dinas Perhubungan Banjarmasin Slamet Begjo mengatakan lahan eks Pelabuhan Marla itu sudah dikerjasamakan Pelindo dengan pihak ketiga. “Jadi, kami harus mencari lahan baru yang lebih luas untuk bisa mengatasi masalah ini,” ujarnya, (17/5) siang.
Bagi Slamet, hal itu sulit dihadapi karena keterbatasan alias minimnya ruang. Terutama di pusat kota. “Saya kira tidak ada lagi tanah kosong,” keluhnya. Slamet mengatakan, pihaknya masih mengincar pemanfaatan lahan kosong lainnya. Lokasinya, di kawasan Jalan Pasar Baru. Tidak jauh dari Balai Kota. “Kami ingin mengetahui tanah atau lahan kosong milik siapa,” katanya.
Slamet berharap lahan kosong yang dimaksudnya bisa menjadi tempat bongkar muat truk pengangkut barang. Setidaknya untuk truk yang biasa melakukan aktivitas bongkar muat di kawasan Pasar Lima.
“Jadi semuanya diarahkan ke sana. Tapi sampai sekarang belum ada informasi tanah milik siapa,” ujarnya. Padahal pemanfaatan lahan kosong bisa menjadi pemasukan bagi pemilik lahan. Kalau suatu saat pemilik tahu, Ia ingin menjalin komunikasi. Slamet mengaku mencegah kegiatan bongkar muat di pinggir jalan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu karena menyangkut kerja masyarakat.
“Kalau langsung dikeluarkan, tidak mungkin. Harus ada wadah khusus. Itu yang sedang kami usahakan,” janjinya.
Slamet mengatakan, untuk penanganan lebih lanjut, dirinya juga mengaku akan meminta bantuan dari pemerintah desa. Setidaknya cari tahu area atau lahan mana yang cocok, dan masih bisa dimanfaatkan. Ketika lahan yang diinginkan sudah diperoleh, tinggal merumuskan prosedurnya.
“Apa yang diinginkan pemilik lahan, termasuk pemilik transportasi? Atau bekerjasama dengan Pemko, berikut kompensasinya. Saya berharap akan ada timbal balik,” katanya.
“Tahun ini, fokus kami mencari lahan dulu. Karena sekali lagi tentu tidak bisa langsung dideportasi (truk yang sedang melakukan kegiatan bongkar muat, Red),” tegasnya.
“Karena ini terkait dengan hajat hidup orang, jadi harus manusiawi,” pungkasnya.
Sebelumnya, maraknya aktivitas bongkar muat juga mendapat perhatian dari pemerhati tata kota Banjarmasin, Subhan Syarief. Dia menilai, dalam hal tata kota, Pemko Banjarmasin masih belum benar-benar memetakan dan menyusun zonasi yang sesuai dengan kebutuhan aktivitas perkotaan.
Padahal kalau bicara jalan, Pemko setidaknya harus memenuhi tiga hal. Pertama, area pejalan kaki yang nyaman dan aman.
Kedua, area parkir kendaraan bagi masyarakat yang ingin mengunjungi toko atau gedung tertentu.
Ketiga, kawasan yang mengatur masalah kelistrikan, mekanik, atau utilitas kota. Menurut Subhan, ketiga hal tersebut menjadi kelemahan klasik yang dialami Pemko selama ini.
“Selain itu, Pemko sepertinya tidak pernah memikirkan tata kota yang komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan,” kritiknya. “Saat merencanakan kawasan, tiga hal ini seharusnya sudah masuk,” tegasnya.
Situasi semakin parah karena Pemko juga kurang peka terhadap kondisi sosial dan lingkungan di Banjarmasin. Salah satu contohnya, saat menangani banjir. Setelah banjir usai, penataan diintensifkan.
Sejumlah sungai dinormalisasi, jembatan dinaikkan, beberapa jembatan dibongkar. Namun pada kenyataannya, program yang diusung dengan semangat tersebut tidak didukung dengan skenario yang terukur dan berjangka panjang.
“Buktinya, saat jembatan dibongkar dan ditinggikan, tidak memperhitungkan jembatan baru yang justru menabrak trotoar dan sebagainya,” tegasnya.
Menurutnya, program yang dilakukan Pemko selalu terkesan trial error. alias mencoba. “Akibatnya, ketika ada masalah, itu diselesaikan. Ada masalah, diatasi lagi,” ujarnya.
Subhan mengatakan, Pemko tidak pernah membuat sesuatu yang berbasis keterpaduan. Melihat masalah sambil menyelesaikannya, termasuk membuat tingkatan tahapan, hingga pencapaian akhir.
Menanggapi masih adanya aktivitas bongkar muat yang merugikan hak pejalan kaki, Subhan menilai masyarakat hanya bisa menyampaikan keberatan. Namun, penekanan tetap pada Pemko karena belum memiliki perencanaan yang baik terkait tata kota.
“Tentu kita tidak bisa serta merta menyalahkan pemilik toko atau sopir yang melakukan kegiatan bongkar muat,” ujarnya. Termasuk Izin Persetujuan Mendirikan Bangunan (PBG)
“Perlu dicermati dan diatasi permasalahan yang akan muncul nantinya ketika ada yang dibangun,” ujarnya. “Karena pelebaran jalan sudah tidak mungkin lagi,” pungkasnya.