Sembari menahan air mata, mantan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST), Abdul Latif membacakan eksepsi melalui Rutan Sukamiskin, Bandung.
BANJARMASIN – Pria berusia 55 tahun itu tampil secara virtual di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, (18/1). Saat pembacaan dakwaan kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Latif beralasan, harta benda yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 itu diperoleh sebelum menjabat sebagai bupati. Termasuk soal kerugian negara saat menjabat terakhir. “Tidak ada yang merugikan keuangan negara, saya tidak pernah menjual jabatan atau menjual izin,” kata Bupati HST periode 2016-2019 itu.
Dia juga keberatan dihukum dengan tiga sprindik terpisah (tiga dakwaan terpisah). Latif membandingkannya dengan kasus mega korupsi lainnya yang telah merugikan negara triliunan rupiah.
“Contoh kasus e-KTP, lobster, bansos, dan suap pajak hanya diberikan satu sprindik,” imbaunya. Ia menambahkan, sebagai tulang punggung keluarga, dirinya keberatan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Apalagi, dia juga masih menjalani hukuman atas kasus dugaan suap. Pada Januari 2019, Latif divonis tujuh tahun penjara.
“Saya mohon majelis hakim membatalkan semua dakwaan JPU dan memerintahkan JPU mengembalikan semua barang sitaan yang tidak termasuk dakwaan,” pintanya. Dia juga menanyakan soal penetapan tersangka kasus dugaan gratifikasi dan TPPU yang dibawanya. Latif mengatakan, dalam kasus baru ini, belum pernah ada yang diperiksa.
“Sebelum penetapan tersangka, tidak ada pemeriksaan saksi-saksi,” ujarnya.
“Penyidik hanya menduga dari BAP (berita berita acara pemeriksaan) kasus lain. Hak klarifikasi saya terkait alat bukti kebenarannya tidak ditanggapi,” imbuhnya.
Dia secara blak-blakan menduga telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan hukum oleh penyidik KPK dalam kasus ini.
Termasuk soal barang bukti pendukung yang disita KPK, yang sudah dimiliki terdakwa jauh sebelum menjabat sebagai bupati. “Tidak hati-hati dan kabur,” katanya.
Dalam kasus ini, Latief menggandeng pengacara ternama Otto Cornelis Kaligis.
Sementara itu, penasihat hukum Latief yang menghadiri sidang secara langsung di Banjarmasin adalah Joni Politon dari Kantor Pengacara OC Kaligis SH & Associates.
Dia mengatakan jaksa tidak mengatakan siapa yang memberikan gratifikasi. Kemudian tentang aset sitaan yang diperoleh kliennya sebelum menjabat sebagai Bupati HST. “Bukti diperoleh saat klien saya menjadi pengusaha. Dulu dia punya uang, dia bisa membeli aset. Bukti pendukung benda-benda yang disita semuanya di bawah tahun 2015, sebelum menjabat sebagai bupati,” klaimnya.
Dalam dakwaan, Latief diduga melanggar dua pasal. Yang pertama adalah Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Nilai gratifikasinya lebih dari Rp 41,5 miliar,” kata Koordinator Kejaksaan KPK, Ikhsan Fernandi.
Dia menjelaskan, uang sejumlah itu berasal dari rekanan kontraktor di beberapa SKPD HST saat terdakwa menjabat sebagai kepala daerah, antara tahun 2016 hingga 2017.
Terkait kasus TPPU, Latif diduga menghambur-hamburkan uang gratifikasi. Dengan menabung di bank, membeli surat berharga atau obligasi, tanah, rumah, termasuk mobil mewah dan motor besar. Totalnya Rp 34,2 miliar.
Rinciannya, penyetoran ke rekening Bank Mandiri tergugat dengan total Rp 8.253.719.779. Menempatkan uang di rekening BTN atas nama Fauzan Rifani sebesar Rp 2.500.000.000. Selain itu. menempatkan uang tunai Rp 1.000.000.000 dengan membeli ORI (Obligasi Ritel Indonesia) di BTN Cabang Banjarmasin.
Latif juga diduga membeli dua bidang tanah di Barabai, HST, dengan total transaksi Rp 2.851.350.000.
Yang mencengangkan, Latief juga diduga membeli puluhan kendaraan mulai dari Lexus, Hummer, truk, hingga motor Harley Davidson dengan total transaksi Rp 19.722.126.000.
Soal barbuk yang disita sebelum tergugat menjadi bupati, Fernandi menjawab diplomatis. “Ini hanya soal pembuktian. Kalau tidak terbukti, kembalikan saja,” ujarnya.
Fernandi menjelaskan, dalam kasus tiga pedoman yang telah ditetapkan, dalam kasus pertama hanya sebatas masa penahanan. Ditambah jumlah saksi untuk barang bukti. “Kasus ini hasil pengembangan, jadi tidak bisa digabung. Prosesnya berbeda, apalagi saksi yang diperiksa sudah mencapai lebih dari seratus orang,” jelasnya. Sidang yang dipimpin James Simanjuntak akan dilanjutkan pekan depan. Agendanya adalah keputusan sela dari pengecualian kemarin. (mof/gr/fud)