Fakta baru muncul dalam persidangan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Terdakwa, mantan Kepala Dinas Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif.
Ada dua saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan) KPK pada Rabu (12/7/2023) sore yaitu Muksin dari pihak swasta dan saksi dari LHKPN RI Dedi Setianto.
“Saksi Muksin memiliki mobil mewah yang dijual kepada terdakwa, sedangkan LHKPN menyampaikan laporan harta kekayaan terdakwa,” ujar Jaksa KPK Taufiq.
Muksin yang dihadirkan jaksa penuntut umum di persidangan menjelaskan mobil mewah Cadilac Escalade warna putih dengan nomor polisi B 323 PB disita KPK dari Abdul Latif.
Belakangan, mobil mewah itu berawal dari cicilan. Saksi Muksin mengatakan awalnya menggadaikan mobil itu dari Abdul Hakim sebelum akhirnya membelinya karena pemiliknya tidak bisa menebusnya.
Kemudian pada tahun 2016 mobil mewah tersebut kembali digadaikan kepada terdakwa Abdul Latif, sebelum akhirnya dilunasi sebesar Rp 800 juta.
“Tahun 2016 saya menggadaikan mobil itu kepada terdakwa sebesar Rp 1 miliar kemudian membayar Rp 800 juta,” kata saksi.
Muksin menjelaskan, saat transaksi kuitansi itu bukan atas nama Abdul Latif melainkan Ilham Amrullah yang merupakan anak terdakwa.
Setelah itu saksi mengatakan menyerahkan kelengkapan dokumen kendaraan kepada Abdul Latif untuk proses pengalihan nama. Kemudian Muksin mengatakan bahwa mobil mewah tersebut adalah milik terdakwa atas nama anaknya.
“Surat kendaraan saya serahkan untuk proses serah terima, sehingga mobil tersebut sudah dijual kepada terdakwa,” kata saksi.
Mendengar keterangan saksi Muksin, terdakwa Abdul Latif membantah telah membeli Cadillac dari saksi namun hanya menggadaikan statusnya. Ia pun mengatakan bahwa yang menggadaikan mobil itu adalah anaknya, lham Amrullah.
Kemudian ketika hendak membayar pajak kendaraan, Abdul Latif mengatakan tidak bisa, sehingga akhirnya mengganti namanya.
“Saat itu atas nama Abdul Hakim belum ada petugas yang namanya untuk mata pencaharian pajak, sehingga disarankan untuk mengganti nama. Jadi jangan menganggap namanya dijual kembali,” ujar Abdul Latif.
Selain Muksin, saksi dari LHKPN RI, Dedi Setianto, juga dihadirkan jaksa penuntut umum di persidangan. Ia menjelaskan tentang laporan harta kekayaan terdakwa.
Dalam keterangannya, saksi menerangkan bahwa terdakwa melaporkan harta kekayaannya pada tahun 2015, saat itu proses pencalonan bupati. Namun, pada tahun berikutnya tidak ada laporan yang dibuat.
“Tahun 2016 dan 2017 terdakwa tidak melaporkan harta kekayaannya,” kata saksi.
Abdul Latif sebelumnya pernah dijerat gratifikasi saat menjabat sebagai Bupati HST periode 2016-2017 sebesar Rp 41 miliar. Selain gratifikasi, Latit juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang.
Jaksa Penuntut Umum memasang Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sidang akan kembali digelar dua pekan lagi pada Rabu (27/7/2023) dengan agenda keterangan saksi yang disampaikan oleh JPU KPK.