- Bali kaya akan ritual adat yang memuliakan alam dan makhluk hidup, Tumpek Wariga atau hari raya tumbuhan yang diadakan setiap enam bulan sekali.
- Pada saat ritual Tumpek Wariga, umat Hindu Bali memberikan sesaji di pohon dan memohon berkah hasil panen yang melimpah.
- Sekelompok warga di Desa Yehembang Kauh, Kabupaten Jembrana mencoba memahami makna Tumpek Wariga dengan membuat sejumlah kegiatan di hutan belajar.
- Mereka ingin menunjukkan betapa pentingnya hutan dan ekologi bagi kehidupan sekarang dan generasi mendatang. Memperkenalkan situasi hutan melalui lari hutan yang menyenangkan, mendongeng, dan pelatihan permakultur intensif.
Umat Hindu di Bali memiliki banyak ritual untuk memuliakan alam dan makhluk hidup. Namun, filosofi dan maknanya terkadang tidak mengikat dalam praktik kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga atau liburan tanaman adalah ritual penghormatan terhadap tanaman dan makhluk hidup di sekitarnya. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah lain seperti Tumpek Pengatag atau Tumpek Bubuh. Bubuh berarti bubur. Salah satu “menu” dalam sesajen Tumpek Wariga adalah bubur yang berarti lambang kesuburan, sekaligus pupuk bagi tumbuhan dan makhluk hidup di sekitarnya.
Ritual Tumpek Wariga dilaksanakan setiap enam bulan sekali menurut penanggalan Bali, terakhir dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2022 kemarin.
Seperti yang dilakukan Ni Wayan Karni, warga Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Wanita paruh baya ini memegang wadah besar berisi sesaji di atas kepalanya. Mengenakan pakaian tradisional, ia bergerak lincah di antara tanah basah dan berlumpur, di tengah kebunnya yang rimbun dengan aneka tanaman.
Selama Tumpek Wariga, warga akan “berdialog” dengan penghuni hutan atau kebun, dan meminta sesuatu. Secara garis besar dialog dalam bahasa Bali seperti ini:Kaki nani sarwa tumuwuh. Niki Pole memastikan menambah Mangde Ledang agar tumbuh dengan baik, Buin Jam Lemeng Apang, Nged, Nged, Nged.” Artinya, “Seluruh sesepuh yang menjaga kawasan ini, saya persembahkan bubur agar tanaman tumbuh subur. Kira-kira 25 hari lagi mudah-mudahan panen melimpah.”
Harapan ini merujuk atau menandai sebentar lagi, sekitar 25 hari dari sekarang, akan tibanya Hari Raya Galungan. Dilaksanakan secara meriah dengan persembahyangan di rumah-rumah dan pura-pura hampir di seluruh Bali. Jalanan atau bangunan akan berisi penjor, bambu yang dihias dengan daun kelapa, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Saat Hari Raya Galungan, warga membutuhkan banyak buah untuk sesaji.
Baca : Kisah Dukun Penjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka
Ni Wayan Karni juga berharap hasil panen lebih baik dari dua tahun terakhir karena hasil panen berkurang, begitu juga dengan harga. Dia mencontohkan umbi porang sekarang harganya Rp. 2.500 per kg, sebelumnya Rp. 6.000/kg. Pisang juga sangat murah, sekitar Rp 500 per biji. Selain karena dampak pandemi Covid-19, menurut dia, hal ini karena musim hujan lebih panjang. “Murah dan sulit berbuah karena hujan yang lama,” keluhnya.
Seperti warga Kabupaten Jembrana lainnya, Karni berkebun di hutan. Mereka menanam komoditas jangka pendek seperti pisang, vanili, porang. Untuk mencegah perambahan hutan, warga berupaya mengendalikannya dengan mengakses sejumlah izin, misalnya perhutanan sosial dan hutan desa. Desa tersebut kemudian membentuk kelompok tani hutan (KTH), memetakan pemilik perkebunan di hutan, dan menyepakati sejumlah aturan.
Karni mengatakan, masyarakat yang berkebun di hutan kini harus mengikuti banyak aturan baru. Salah satunya dengan menanam tanaman yang berumur panjang dan berukuran besar untuk menjaga cadangan air dan memulihkan ekosistem hutan. Terutama tumbuhan endemik di hutan Yehembang Kauh, seperti Pala Bali. Warga dilarang menanam cengkeh dan jenis tanaman lain yang tidak cocok di hutan.
Dia ingat bahwa orang berbondong-bondong ke hutan untuk berkebun sekitar tiga dekade lalu. Ia sendiri beralasan bahwa upah angkut kelapa sangat murah dan ia tidak memiliki kebun di luar hutan.
Karni bukan satu-satunya yang mempersembahkan sesaji di monumen alam di pohon kembang sepatu dan bambu di tengah kebunnya. Ternyata banyak warga lain yang melakukan hal serupa terhadap Tumpek Wariga. Hutan terasa lebih ramai.
bacaan menarik: Tanpa tanaman tersebut, acara adat di Papua bisa dibatalkan
Festival pertama
Untuk mengangkat filosofi dan makna Tumpek Wariga, masyarakat Base Bali menggelar Festival Tumpek Wariga pertama di Hutan Yehembang Kauh, di kawasan yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Giri Amertha.
Komunitas Base Bali didirikan pada tahun 2004 ketika Tumpek Wariga menanggapi kerusakan lingkungan yang meluas di Jembrana. Mereka menyebutnya degradasi ekonomi dan sosial. Pendirinya adalah warga Jembrana yang memiliki pengetahuan tentang kerentanan alam Bali dan bertekad untuk memperbaikinya.
Pemandunya adalah Dharma Pemaculan, sebuah teks yang berisi cara bercocok tanam untuk upacara agama Hindu. Salah satu teksnya menyebutkan betapa arifnya manusia sebagai pemegang amanah kekuasaan jika kemajuan di segala bidang diselaraskan dengan kejujuran dan keadilan alam. Westnawa, salah satu pendiri Base Bali, mengatakan bahwa pengetahuan lingkungan sangat sederhana namun tidak disadari.
Untuk membumikan konsep Tumpek Wariga, digelar sejumlah kegiatan yang melibatkan warga dari luar desa, anak sekolah dan warga sekitar hutan. Sebagai contoh kursus desain permakultur (PDC), kursus permakultur dengan pendekatan pada kehidupan sehari-hari, tidak hanya tentang cara bercocok tanam atau membuat pupuk organik. Peserta tidak membayar, biasanya PDC mahal. Namun, peserta berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Kegiatan lainnya adalah lari menyenangkan di hutan, mengenal hutan di kawasan KTH dan permasalahan yang dihadapinya. Saat menjelajahi hutan, kita bisa mengamati lanskap hutan lindung yang membentuk lembah, diselingi daerah aliran sungai. Masih banyak pohon yang sangat tinggi dengan diameter lebih dari satu meter.
Namun ada juga pohon besar yang terlihat mati, masih berdiri, tetapi tidak berdaun dan batangnya berwarna hitam. Bisa jadi mereka diracuni oleh penduduk setempat yang biasa berkeliaran di hutan secara membabi buta agar kebun mereka mendapat akses sinar matahari. Hutan di Bali yang tersebar di Kabupaten Jembrana terasa nyata. Daerah hulu inilah yang menjadi sumber air, pabrik oksigen, penyerap karbon, dan menciptakan keanekaragaman hayati, flora dan fauna.
Baca juga: Pati Ea, Ritual Adat Syukuran Panen dan Pesan Jaga Alam
Pipa distribusi air dari hulu sungai di tengah hutan ke desa-desa juga terlihat di jalan tanah berlumpur sisa hujan. Ada pipa yang bocor, menyemburkan air bersih dengan kekuatan besar karena tekanan air. Restu, salah seorang warga yang sering patroli hutan, menuturkan, ini adalah pembagian air yang dikelola warga atau Pancimas. Warga hanya membayar biaya pemeliharaan infrastruktur.
“Kadang airnya minim,” kata Restu. Ini pertanda debit di sumber semakin berkurang, cadangan air semakin berkurang. Inilah yang dikhawatirkan warga. Jika hutan tidak cukup untuk menjaga cadangan air, maka krisis air sudah dekat. Ia mengatakan, warga tidak mengizinkan pihak atau perusahaan lain mengakses sumber air di kawasan hutan ini.
Hutan juga merupakan sumber makanan. Ada sejumlah tumbuhan liar yang dapat dimakan, seperti pakis yang tumbuh subur di sepanjang jalur tanah. Pala, Kwatin, dan Genitri adalah pohon-pohon besar yang coba dilestarikan.
Kwatin dan Genitri lebih disukai burung enggang. Biji buah dimakan burung, difermentasi secara alami dalam pencernaannya, kemudian dikeluarkan dalam bentuk feses yang akan menjadi biji baru. Pala memiliki banyak kegunaan. Bijinya digunakan sebagai bumbu, kulit luarnya digunakan untuk ramuan teh, dan kulit luarnya diolah menjadi manisan.
Untuk menginspirasi masalah hutan dan lingkungan ini kepada anak-anak, Base Bali menyelenggarakan sejumlah lomba dan permainan. Misalnya, lomba melukis di atas daun kering dan permainan tradisional dari legenda pendongeng tua Bali, Made Taro.
Seluruh kegiatan dipusatkan di kawasan Hutan Belajar KTH Giri Amertha. Komang Darmawan, Kepala Desa Yehembang Kauh mengatakan, pihaknya berkomitmen menjaga kelestarian ekosistem hutan dari hulu hingga hilir.
Baca juga: Tokoh Adat dan Tokoh Agama Harus Mencari Solusi Permasalahan Lingkungan
Untuk menambah jumlah satwa, desa baru tersebut melepas 19 jenis burung yang disita negara sebanyak lebih dari 2.000 ekor. Ada juga penangkaran burung endemik Jalak Bali. Rencana selanjutnya adalah penangkaran rusa atau rusa endemik hutan yang mulai menghilang. Ia ingin semua anak mengenali hutan di sekitar mereka yang harus dilindungi. “Hutan jangan hanya dirusak, juga dirawat,” ajaknya.
Menurut data KPH Bali Barat, luas utang yang dilindungi di Jembrana adalah 37.182,13 hektar. Diantaranya adalah blok inti seluas lebih dari 21.000 hektar, blok khusus dan blok pemanfaatan atau kelola desa seluas lebih dari 12.000 hektar. Blok pemanfaatan hutan produksi berikutnya sekitar 3.110 hektare.
Pada Oktober 2022, banjir kembali melanda kabupaten dengan kawasan hutan terluas di Bali itu. Sekitar 4.000 rumah rusak, puluhan di antaranya tertimbun lumpur dan batang kayu dari hulu sungai. (***)