Oleh: Dr (Cand) Muhammad Riyandi Firdaus, Dosen STIA Tabalong dan Peneliti Muda Institut Kajian Politik dan Pembangunan Daerah (IRDePos) Kalimantan Selatan
BANJARMASINPOST.CO.ID – Pemilihan umum (pemilu) jangan dilihat sebagai peristiwa seremonial politik “semata-mata” yang menafikan partisipasi politik rakyat. Karena mereka adalah subyek, bukan sekedar obyek dalam proses pemilu. Partisipasi politik yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam proses demokrasi. Tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana membangun kesadaran politik masyarakat terhadap pemilu, apalagi sudah memasuki tahun politik.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendefinisikan pemilihan umum sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dapat dimaknai dengan dua cara, pertama sebagai alat kedaulatan rakyat dan kedua sebagai perwujudan konstitusi.
Sebagai sarana kedaulatan rakyat, tentunya rakyat harus dapat dilibatkan dalam segala tahapannya, dimana hal ini akan memberikan kontribusi besar dalam perwujudan amanat konstitusi. Selama ini, fakta partisipasi masyarakat dalam pemilu hanya dimaknai secara terbatas, yakni sekadar memberikan hak pilihnya pada hari pencoblosan di TPS, padahal lebih dari itu. Padahal, masyarakat saat ini bukan lagi sekedar objek melainkan subjek yang harus dilibatkan dan secara sadar mengawasi dalam setiap proses pelaksanaannya.
Gagasan ini telah lama diungkapkan oleh Samuel Huntington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Disebutkan bahwa sifat partisipasi politik masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom adalah partisipasi spontan yang diberikan oleh seseorang atas kehendak bebasnya sendiri sedangkan partisipasi mobilisasi adalah partisipasi yang diberikan atas dasar rangsangan atau instruksi dan didorong oleh kesetiaan, cinta, rasa hormat atau rasa takut.
Jika kita kaitkan apa yang dikatakan Huntington dan Nelson dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pertanyaannya adalah bagaimana partisipasi politik terjadi di semua sektor masyarakat kita? Idealnya, kedua partisipasi ini terkadang menjadi ciri khas dan dapat menunjukkan proses kematangan demokrasi bagi suatu negara.
Aktor Pemilu
Ada beberapa aktor “inti” yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Yang pertama penyelenggara yaitu KPU, Bawaslu, DKPP. Baik peserta pemilu, baik partai politik maupun calonnya. Ketiga pemilih, dan keempat pemerintah sebagai mediator pesta demokrasi.
Dalam mengawal demokrasi, keempat faktor tersebut harus selalu berkolaborasi untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Dalam setiap tahapan tentunya para pelaku harus memahami apa yang menjadi tugas dan fungsi masing-masing. Selain itu, harus waspada terhadap potensi ancaman yang akan muncul di setiap tahapan.
Beberapa potensi ancaman yang mungkin terjadi, pertama adalah politik uang. Masalah ini sangat mencederai prinsip-prinsip demokrasi, dimana menimbulkan persaingan tidak sehat dalam kontestasi politik dan tidak memberikan pembelajaran politik yang bermartabat. Yang kedua adalah kampanye hitam. Tingginya penggunaan informasi digital saat ini dapat mempengaruhi seseorang dengan isu-isu politik identitas, berita bohong, hoax dan lain sebagainya melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya sehingga menimbulkan kecenderungan seseorang untuk berpandangan negatif. . Ketiga, fanatisme politik. Fanatisme yang berlebihan terkadang memicu konflik yang tinggi.
Hal ini menjadi tantangan bagi berjalannya proses pemilu ke depan, apalagi dilaksanakan serentak di tahun yang sama, 2024. Partisipasi politik masyarakat, baik secara otonom maupun termobilisasi, harus mampu digalang secara efektif untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan. dari proses implementasi.
Mewujudkan Pemilu yang Demokratis
Parameter pemilu yang demokratis ditandai dengan integritas proses penyelenggaraan pemilu dan integritas hasil pemilu (Suswantoro, 2016). Tentu tidak mudah untuk mewujudkannya, sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, menjaga integritas penyelenggara pemilu. Penyelenggara adalah aktor utama, sehingga harus selalu menjaga kode etik dan “melawan” intervensi politik yang dapat terjadi dalam setiap proses dan tahapan pelaksanaan.
Kedua, memperkuat sosialisasi dan pendidikan politik publik. Kecenderungan masyarakat untuk masih bersikap apatis terhadap pemilu, dimana hal ini terjadi sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi saat ini. Memberikan pendidikan politik, membangun pengawasan partisipatif, mensosialisasikan ancaman pemilu dan sebagainya merupakan hal yang harus dilakukan secara terus menerus guna membangun kesadaran dan minat masyarakat dalam setiap tahapan proses pemilu.
Ketiga adalah pemanfaatan teknologi. Keempat, membangun semangat kolaborasi. Mengawasi pelaksanaan pemilu bersama merupakan langkah maju dalam proses demokrasi, dimana pada umumnya demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat dan akan kembali kepada rakyat. Jadi pada hakekatnya rakyatlah yang akan menjadi penentu dalam seluruh pesta demokrasi nanti. Pameran bus Wallahualam.