Euforia menyambut penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444 H/2023 M sangatlah logis. Pertama, Indonesia mendapatkan kuota normal sebesar 221.000 jemaah haji, naik lebih dari 100% dibanding dengan tahun 2022. Kedua, pemerintah Arab Saudi juga menerapkan relaksasi usia berhaji, tidak melakukan pembatasan usia jemaah seperti yang dilakukan tahun sebelumnya. Dan ketiga, Indeks Kepuasan Jemaah Haji (IKJH) yang telah mencapai kategori sangat memuaskan sebesar 90,45 poin menurut survei Badan Pusat Statistik.
Seiring semangat penyambutan tersebut, dinamika persiapan penyelenggaraan ibadah haji juga begitu menggeliat. Sebut saja bagaimana respon masyarakat terkait usulan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) alias biaya yang harus dibayarkan jemaah pada saat pelunasan. Pro dan kontra mewarnai jagat dunia maya, media massa dan elektronik, untuk menjawab pertanyaan kewajaran usulan kenaikan biaya haji tahun 2023.
Sekedar mengingatkan kembali, Kementerian Agama mengusulkan rerata Bipih Tahun 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70% dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Dibanding dengan tahun sebelumnya, usulan BPIH 2023 naik Rp514.888,02. Namun, secara komposisi, ada perubahan signifikan antara komponen Bipih yang harus dibayarkan jemaah dan komponen yang anggarannya dialokasikan dari nilai manfaat (optimalisasi).
BPIH 2022 sebesar Rp98.379.021,09 dengan komposisi Bipih sebesar Rp39.886.009,00 (40,54%) dan nilai manfaat sebesar Rp58.493.012,09 (59,46%). Sementara usulan Kemenag untuk BPIH 2023, sebesar Rp98.893.909,11 dengan komposisi Bipih sebesar Rp69.193.734,00 (70%) dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175,11 (30%). Dengan demikian, ada kenaikan biaya yang harus dibayarkan jemaah dari Rp39.886.009,00 tahun 2022 menjadi Rp69.193.734,00 sebagai usulan tahun 2023.
Pertanyaan selanjutnya adalah “Wajarkah biaya haji naik sebanyak itu ? Bukankah Arab Saudi sudah menurunkan biaya layanan 30 persen ?.”
Hanya mengklarifikasi bahwa penurunan biaya layanan yang dimaksud adalah layanan Masyair bagi jemaah haji luar Arab Saudi dari 5.656,87 SAR menjadi 4.632,87 SAR atau turun 1.024 SAR (setara sekitar Rp4.161.000) atau setara dengan 30 persen. Sedangkan bagi jemaah domestik, Arab Saudi memberlakukan tarif berbeda-beda untuk biaya layanan Masyair, yaitu:
1. Mulai SAR 10,596 – SAR 11,841 (sekitar Rp43 juta – Rp48 juta)
2. Mulai SAR 8,092 – SAR 8,458 (sekitar Rp33 juta – Rp34,5 juta)
3. Mulai SAR 13,150 (sekitar Rp53,6 juta)
4. Mulai SAR 3,984 (sekitar Rp16 juta), namun tidak ada layanan di Mina (hanya akomodasi dan konsumsi di Arafah dan Muzdalifah)
Di sisi lain, pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji bukan hanya sekedar biaya layanan Masyair, tetapi juga ada komponen lainnya seperti akomodasi, transportasi, konsumsi, dokumen keimigrasian, general service fee, pembinaan maupun biaya perlindungan jemaah. Segala komponen pembiayaan penyelenggaraan haji itu dikenal dengan istilah BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji). Tentu tidaklah akan terasa kebijakan penurunan biaya layanan Masyair bila tidak dibarengi dengan penurunan biaya komponen BPIH lainnya.
Contoh saja biaya akomodasi hotel-hotel di Arab Saudi yang sejak akhir tahun 2022 lalu sudah merangkak naik hingga 300 persen. Belum lagi naiknya biaya transportasi pesawat dan depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dan Riyal Saudi Arabia (SAR). Menurut informasi, harga konversi mata uang tahun lalu hanya Rp14.425 per dolar dan Rp3.846 per riyal, sedangkan tahun 2023 ini diasumsikan mencapai kisaran Rp15.300 per dolar dan Rp4.080 per riyal.
Belum lagi kebijakan pemerintah Arab Saudi yang tetap memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 15% untuk komoditi barang. Otoritas pajak Arab Saudi yang bernama General Authority of Zakat and Tax (GAZT) menetapkan zakat sebagai semacam Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan sebesar 2,5% dan PPh Badan mencapai 20%. Oleh karenanya, dinilai RASIONAL adanya peningkatan BPIH tahun ini dibading tahun 2022 lalu.
Dalam dimensi lain, pemerintah juga mencoba untuk menerapkan adanya pemanfaatan dana haji secara berkeadilan. Artinya, nilai manfaat (dalam bahasa perbankan sebagai bagi hasil atau bunga bank) yang didapatkan dari investasi dana jemaah haji yang per akhir 2022 lalu mencapai Rp166 triliun, dapat dirasakan oleh seluruh jemaah haji yang sudah terdaftar, bukan hanya dinikmati oleh mereka yang berangkat ke tanah suci.
Praktiknya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan yang berefek pada penggerusan dana cadangan nilai manfaat Jemaah haji. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013), 32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019). Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dana nilai manfaat naik hingga 59%. Nilai manfaat tersebut tidak lain adalah subsidi bagi jemaah yang berangkat ke tanah suci yang seyogyanya harus dirasakan juga oleh 5 juta jemaah yang masih menunggu antrean berangkat.
Tentu skema pembiayaan antara komposisi Bipih dan nilai manfaat tersebut tidaklah proporsional. Subsidi yang cenderung tidak berkeadilan tersebut akan mempercepat penggerusan dana nilai manfaat dan tidak sehat untuk pembiayaan haji jangka panjang. Bila tidak ada perubahan kebijakan dalam pengelolaan dana haji, terdapat potensi pelaksanaan skema ponzi pada ibadah haji suatu waktu. Pasalnya, subsidi jemaah yang akan berangkat harus diambil dari nilai manfaat setoran awal jemaah lainnya yang seharusnya berhak atas nilai manfaat tersebut.
BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) bahkan telah memprediksi bahwa diperkirakan dalam 5-10 tahun mendatang, jika komposisi Bipih dan nilai manfaat tersebut masih dipertahankan, cadangan nilai manfaat dan haji akan habis dan pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji selanjutnya akan murni bersumber dari jemaah.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba merubah komposisi pembiayaan tersebut menjadi 70% Bipih dan 30% nilai manfaat pada usulan biaya haji tahun 2023. Efek dari perubahan formula komposisi pembiayaan tersebut maka secara kasat mata, biaya haji yang dikeluarkan jemaah naik cukup signifikan, walau secara BPIH hanya naik rerata Rp514.888,02. Itu semua dilakukan tidak lain untuk menjaga keberlangsungan pendanaan haji menuju SUBSIDI YANG BERKEADILAN bagi seluruh jemaah.
Sementara itu, dari perspektif syariat, Islam mempersyaratkan kemampuan atau istitoah bagi masyarakat yang hendak menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Dalam QS. Ali Imran ayat ke-97 jelas menyatakan bahwa ibadah haji diperuntukkan untuk orang-orang yang mampu, baik secara fisik, rohani, ekonomi maupun keamanan. Bahkan para ulama berani menyatakan bahwa hukum berhaji tidak menjadi wajib jikalau yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan. Dengan bahasa sederhananya, tidak baik memaksakan diri bila memang belum memiliki kemampuan.
Salah satu ciri dari mampu, khususnya kemampuan ekonomi, adalah mampu membiaya segala perjalanan ibadah hajinya, termasuk meninggalkan harta bagi keluarga yang ditinggalkan. Orang yang istitoah tentu tidak tergantung dengan subsidi (baca : dari nilai manfaat) sehingga bila subsidi itu dikurangi, atau bahkan ditiadakan untuk kemashlahatan yang lebih besar, maka yang bersangkutan tetap dapat membiayai perjalanan ibadah hajinya. Itulah konsep awal dari ISTITHA’AH yang coba dikembalikan untuk direalisasikan kepada jemaah.
Namun, terlepas dari itu semua, penetapan besaran biaya haji, wabil khusus yang harus dibayarkan jemaah, tergantung pembahasan yang dilakukan antara pemerintah dan anggota legislatif Komisi VIII DPR-RI. Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dalam pasal 47, DPR-RI diberikan waktu 60 (enam puluh) hari untuk membahas, mengkaji dan memberikan persetujuan atas usulan BPIH yang disampaikan Menteri Agama pada 19 Januari 2023 lalu untuk kemudian ditetapkan oleh Presiden RI. Tentu semua masyarakat Indonesia berharap pemerintah dan para wakil rakyat dapat menyetujui biaya yang terbaik bagi jemaah haji Indonesia secara keseluruhan, mempertimbangkan segala mashlahat dan mudharatnya bagi umat.
Muhammad Nasihuddin (Ketua Tim Kerja Pelayanan Haji Reguler / Arsiparis Ahli Muda)