RADARSOLO.ID – Etnis Tionghoa datang ke tanah airnya, termasuk kota Solo, melalui migrasi bertahap. Jauh sebelum Keraton Kasunanan Surakarta berdiri, mereka sudah aktif di Kota Bengawan.
Etnis Tionghoa diperkirakan masuk ke Kota Solo pada tahun 1700-an yang saat itu masih bernama Kampung Sala. Desa ini merupakan jalur perdagangan. Mereka turun di pelabuhan Semanggi, lalu menyusul Kali Pepe.
“Di sekitar Desa Sala ada pelabuhan yang disebut Kabanaran dan Penjalang,” jelas pegiat sejarah asal Kota Solo Dani Saptoni, akhir pekan lalu.
Etnis Tionghoa tersebut berlayar dari Provinsi Fujian, Tiongkok dan kemudian sampai ke Kota Solo. Hal ini dibuktikan dengan adanya dewa yang disembah di Kelenteng Tien Kok Sie, di kawasan Pasar Gede, yaitu dewa yang menguasai laut.
Padahal secara geografis kota Solo jauh dari laut. “Jadi bisa dipastikan etnis Tionghoa ini datang ke Solo lewat jalur air,” kata Dani.
Aktivitas etnis Tionghoa dalam bidang industri dan perdagangan membuat komunitasnya berkembang cukup pesat sehingga dibutuhkan pemukiman baru, salah satunya adalah Balong.
“Nama Balong awalnya plesetan Barangan. Jadi mereka berdagang dengan berteriak barangtapi karena etnis Tionghoa ini cadel, kedengarannya seperti itu keseimbangansehingga sekarang dikenal dengan Kampung Balong,” jelasnya.
Mereka yang tinggal di Kampung Balong adalah masyarakat Tionghoa kelas menengah ke bawah. Untuk kelas atas tinggal di pemukiman Coyudan.
Kegiatan ekonomi masyarakat Tionghoa di Balong adalah buruh industri, pedagang kelontong, dan industri batik, sedangkan di Coyudan banyak membuka toko.
Merujuk berbagai kajian, lanjut Dani, etnis Tionghoa sudah ada sejak konflik internal di Keraton Kasunanan Surakarta. Mereka melakukan pemberontakan terhadap Paku Buwono II dan VOC di bawah pimpinan Raden Mas Garendi.
Peristiwa pemberontakan atau dikenal dengan Pecinan Geger terjadi pada tahun 1742. “Setelah Keraton Kasunanan Surakarta pindah ke Desa Sala, dan menjadi pusat pemerintahan, semakin banyak etnis Tionghoa yang eksodus,” ujarnya.
Sementara itu, karena tinggal di sekitar pelabuhan, etnis Tionghoa yang beruntung itu ditunjuk sebagai Pecat Tondo, sebutan yang berarti rumah kepala adat. Penembakan Tondo ini menjadi cikal bakal nama Ketandan di Kota Solo.
Berbicara tentang etnis Tionghoa, ada seorang tokoh yang menjadi simbol kerukunan atau persatuan namun sudah dilupakan oleh masyarakat yaitu Mbok Gerji yang berarti penjahit.
Ketika terjadi konflik Mataram antara Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I dan Paku Bowono (PB) III, Mbok Gerji bertindak sebagai kurir korespondensi kedua kubu.
Mbok Gerji adalah penjahit kepercayaan PB III. Namun di sisi lain, ia bekerja sebagai pemasok bahan pangan ke daerah konflik di bawah kekuasaan Pangeran Sambernyawa.
“Akhirnya pihak yang berkonflik bisa berdamai berkat peran Mbok Gerji. Kemudian Mbok Gerji diberi rumah sebagai hadiah oleh Mangkunegara I di daerah Ketandan. Sayangnya, rumah berarsitektur Tionghoa dengan ciri khas Mangkunegaran, yakni Pari Anom, sudah hancur. Saya pernah membaca di arsip. Coba ke lokasi, orang Ketandan sendiri tidak tahu,” jelas Dani.
Saat ini, peninggalan masa lalu etnis Tionghoa yang masih ada adalah Kelenteng Tien Kok Sie, Pasar Gede, sehingga orang hanya bisa melihat arsip untuk mempelajari peradaban awal etnis Tionghoa di Solo.
“Ada serat di era Mangkunegara V. Nama-nama penguasa daerah disebutkan. Ada Kampung Penwalk atau Bandar Penjalan yang diindikasikan sebagai kawasan tempat pertama kali etnis Tionghoa menetap dan melebarkan sayap ke Pasar Gede. Posisi Walker sendiri berada di kawasan Gandekan. Kemungkinan pelabuhan saat ini adalah pintu air Demangan,” jelas Dani. (atn/wa)