Desa Bararawa dan Sapala pernah berjaya berkat wisata kerbau rawa. Orang-orang di sana ingin mengulang masa keemasan itu.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Ammuntai
SEKITAR satu meter dari dermaga apung, dua pejuang berdiri tegak. Ketika perahu motor yang kami tumpangi ditambatkan, kedua pemuda itu bergerak.
Menampilkan gerakan pembukaan yang menjadi ciri khas Setia Hate Terate, salah satu aliran silat ternama di Indonesia.
Sepertinya itu sambutan. Mereka kemudian mengantar kami ke sebuah rumah, markas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pesona Rawa Sapala.
Ada banyak orang berkumpul di sana. Seorang wanita tua mengenakan tudung hitam berjalan perlahan ke arahnya. Di tangannya ada mangkuk berisi air dan bunga.
Wanita itu meminta kami untuk mengantre. Secara bergantian, tubuh, kepala, dan telapak tangan kami disiram air bunga. Seorang pemuda kemudian melemparkan sejumput nasi kuning ke arah kami.
Secara bersamaan, dua petarung lainnya berdiri dan mengambil posisi.
Dilihat dari kostum yang dikenakan, kedua petarung itu masih satu sekolah dengan dua petarung yang menyapa mereka di dermaga.
Tak lama kemudian, mereka saling menyerang. Pertarungan pukulan, pertarungan tendangan. Tanpa ragu, salah satu dari mereka menarik belati dari pinggangnya.
Mencoba menusuk lawannya. Menghindar dengan cepat, serangan itu dihindari. Hingga ujung keris yang runcing hanya menerpa angin.
Dan lengan penusuk itu benar-benar tertangkap oleh lawannya. Dengan bantingan keras ke tanah, penikam itu sepertinya tidak sadarkan diri. Atraksi tiba-tiba berhenti.
“Ini sambutan kami. Selamat datang di Desa Sapala. Silakan masuk,” kata petarung yang memenangkan pertarungan itu.
Desa Sapala merupakan satu dari tujuh desa di Kecamatan Paminggir. Kecamatan terakhir berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Selama dua hari, 15-16 Maret 2023, penulis berkesempatan mengunjungi HSU. Memenuhi undangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan. Tujuannya untuk menggali potensi wisata di Desa Sapala dan Bararawa.
Dalam kelompok wartawan ini, mayoritas adalah wartawan media online. Mewakili media cetak, hanya ada Radar Banjarmasin.
Berangkat dari kantor pusat Walhi di Kota Banjarbaru pada Rabu (15/3) pagi yang dingin, kami naik dua mobil plus satu mobil pikap untuk mengangkut logistik.
Rute yang dipilih adalah Banjarbaru-Nagara. Dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), berkendara menuju Amuntai, pusat Kabupaten HSU.
Selama perjalanan, penulis menyaksikan ruas-ruas jalan yang tergenang air.
Setelah hampir lima jam perjalanan, saat adzan zuhur berkumandang, rombongan tiba di Dermaga Danau Panggang, HSU.
Dari sini, akses ke Desa Bararawa dan Desa Sapala hanya bisa ditempuh dengan perahu motor. Tidak ada jalan darat. Sejauh mata memandang hanya ada danau rawa.
Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Rombongan pertama menuju Desa Bararawa. Sedangkan rombongan kedua menuju Desa Sapala. Penulis termasuk dalam kelompok terakhir.
Kedua desa tersebut bertetangga, setelah Desa Bararawa, kemudian Desa Sapala. Padahal, jarak antara kedua desa tersebut cukup jauh. Sekitar 15 menit berperahu.
“Dibagi menjadi dua kelompok agar potensi kedua desa ini bisa digali lebih jauh lagi,” kata pembimbing perjalanan ini, Rudy Fahrianor.
Mengapa kedua desa ini? Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menjawab, tahun 2018 Walhi membantu pengusulan perhutanan sosial di Paminggir.
Skema yang digunakan adalah hutan desa. Pilih Desa Bararawa dan Sapala. Syahdan, pada tahun 2021 permohonan tersebut akan disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor SK.8452/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2021, Desa Bararawa berhak mengelola hutan desa seluas 4.872 hektar.
Sementara SK.8451/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2021 menyebutkan Desa Sapala mengelola hutan desa seluas 3.237 hektar.
Apa potensi kedua desa ini? Ada banyak. Namun sejak dulu, keberadaan hewan endemik kerbau rawa itu paling menonjol.