Haji menjadi poin terunik dari lima rukun yang wajib dipenuhi umat Islam. Unik, karena meskipun berstatus sebagai rukun, tetapi haji memiliki satu toleransi dan pengecualian, yakni hanya diperuntukkan bagi yang mampu melaksanakannya.
Allah Swt berfirman:
وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah,” (QS: Ali Imran 97).
Padahal, lazimnya sebuah rukun, keumumannya wajib dikerjakan dalam kondisi apapun. Misalnya, salat, ia terus berlaku wajib bagi umat Islam meski dengan tahapan kemampuan dilakukan secara berdiri, duduk, berbaring, hingga cuma melalui isyarat bagi orang-orang yang uzur atau pun sakit parah.
Dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Syekh Mustafa al-Khin dan Syekh Musthafa al-Bugha menjelaskan pengertian rukun dalam salat itu sendiri. Menurutnya, rukun dalam suatu ibadah ibarat dinding dalam sebuah rumah.
ركن الشيء ما كان جزءاً أساسياً منه، كالجدار من الغرفة، فأجزاء الصلاة إذا أركانها كالركوع والسجود ونحوهما. ولا يتكامل وجود الصلاة ولا تتوفر صحتها إلا بأن يتكامل فيها جميع أجزائها بالشكل والترتيب الواردين عن رسول الله
“Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian salat adalah rukun-rukunnya, seperti rukuk dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan salat dan tidak akan menjadi sah kecuali apabila semua bagian salat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktikkkan oleh Nabi Muhammad Saw.”
Akan tetapi, berbeda dengan haji. Klausul pengecualian itu merujuk beratnya proses peribadatan haji, setidaknya terkait pada tiga hal, yakni biaya, jarak, dan keamanan.
Urgensi Pertimbangan Biaya Haji
Saat ini, persoalan besaran ongkos haji di Indonesia menyedot perhatian dan komentar sejumlah pihak. Hal itu kian menguat usai Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan perubahan skema biaya haji demi menghindari ketergantungan pada subsidi yang terlalu besar, hingga penggunaan dana nilai manfaat jemaah yang belum terjadwal terbang.
Kemenag mengusulkan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2023 sebesar Rp98.893.909. Dari jumlah itu, biaya yang dibebankan kepada jemaah haji sebesar Rp69 juta. Sementara sisanya dibayarkan nilai manfaat dana haji.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Kemenag) Hilman Latief menegaskan usulan tersebut bukanlah niat Kemenag untuk memberatkan para calon haji. Ia pun memastikan usulan tersebut belum final. Kemenag masih punya kesempatan untuk memformulasikan agar hitung-hitungan biaya tersebut tidak menjadi fitnah terkait proyek perjalanan ibadah jemaah Indonesia ke Tanah Suci.
Sikap terus terang dan penggambaran hitung-hitungan Kemenag terkait haji tahun ini perlu diapresiasi. Pasalnya, hal tersebut menyangkut hak orang banyak yang juga sama-sama memiliki kebutuhan untuk menunaikan haji di tahun-tahun berikutnya.
Lagi pula, kinerja Kemenag dalam penyelenggaraan haji pun tidak perlu diragukan. Penyelenggaraan haji di Indonesia sudah tercatat sebagai pelaksanaan yang transparan, tertib, dan melibatkan banyak kementerian, lembaga, maupun pihak lainnya.
Keberhasilan itu pun tampak dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tentang indeks kepuasan haji pada 2022 lalu. BPS mencatat nilainya hingga mencapai 90,45 poin.
Menag Yaqut Cholil Qoumas juga menyebut hasil tersebut menjadi yang tertinggi selama BPS melakukan survey, kurang lebih sebanyak 11 kali sejak 2010.
Sejak mula, Gus Men, panggilan karib Menag Yaqut, memang telah mewanti-wanti para petugas agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pelayanan terhadap para jemaah haji Indonesia. Berulang kali ia menyebut, musim haji 2022 adalah pertaruhan sekaligus tantangan berat. Pasalnya, penyelenggaran haji waktu itu digelar dengan masa persiapan yang mepet, mendesak, dan serbamendadak usai dua tahunIndonesia cuti dalam penyelenggaraan haji karena pandemi Covid-19.
Survei BPS menegaskan kenaikan nilai terjadi di semua daerah kerja. Dibandingkan pada 2019, kenaikan indeks kepuasan layanan di Madinah sebesar 89,42 dari sebelumnya 86,44, Makkah 91,57 (2019: 87,89), Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) 89,64 (2019: 82,57) dan Bandara 91,28 (2019: 87,94).
Kenaikan nilai juga terjadi di aspek layanan. Indeks kepuasan layanan transportasi di Armuzna bahkan mencapai 91,54 (2019: 80,37). Sementara kepuasan layanan katering Armuzna 90,08 (2019: 84,48), tenda Armuzna 87,91 (2019: 76,92), transportasi bus antarkota 91,93 (2019: 87,35), petugas 90,32 (2019: 87,06), bus shalawat 90,76 (2019: 88,05), ibadah 90,31 (2019: 87,77), katering 91,72 (2019: 87,72), hotel 89,35 (2019: 87,21), dan umum/lainnya 89,73 (2019: 85,41).
Indeks kepuasan ini mestinya tidak dimaknai sekadar puja-puji, lebih dari itu, nilai-nilai itu adalah sebentuk garansi bagi masyarakat, khususnya jemaah, agar lebih fokus pada pelaksanaan ibadah, bukan sibuk mendengar desas-desus tanpa fakta dan data lainnya.
Keikhlasan Ibadah
Syarat isthitaah (berkemampuan) dalam pelaksanaan haji menjadikan ibadah tersebut memiliki nilai dan pahala yang cenderung lebih besar ketimbang sejumlah amalan lainnya.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah ke umrah merupakan kafarah (dosa) di antara keduanya. Sedangkan haji mabrur tiada balasan baginya kecuali surga,” (HR Malik, Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Asbihani).
Akan tetapi, besar kecilnya nilai itu berbanding lurus dengan niat tulus ikhlas yang dipelihara dalam hati. Ibadah haji harus terbebas dari rasa keterpaksaan, riya, maupun tujuan lainnya selain sebentuk ketaatan kepada Allah Swt.
Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin menjelaskan gambaran ikhlas dalam sebabak amal-ibadah.
فأما اخلاص العمل فهو التقرب ال الله عز وجل و تعظيم امره و اجابة دعوته
“Ikhlas beramal adalah niat taqarrub kepada Allah Swt, dan niat mengagungkan perintah-perintah-Nya. Serta niat melaksanakan seruan-Nya.”
Dalam memupuk niat tersebut, seseorang perlu berjuang dan memiliki tekad yang kuat.
و الباعث عليه اعتقاد الصحيح
“Yang mendorong itu semua adalah ijtihad dan sungguh-sungguh.”
Imam Ghazali menghitung, kian berat tantangan dan syarat pelaksanaan sebuah ibadah, maka makin tinggi nilai kemuliaan dan pahala yang diraih.
Penjelasan Al-Ghazali ini bisa ditarik dan dianalogikan bahwa potensi kenaikan biaya haji akibat faktor yang kompleks itu bisa jadi membuka peluang bagi jemaah untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Kesempatan tersebut jangan sampai terganggu oleh pertimbangan-pertimbangan mentah, seperti terpengaruh kabar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Di sisi lain, era keterbukaan pemerintah, terlebih yang tengah dijalani Kemenag sekarang ini patut dimaknai sebagai anugerah yang layak disyukuri. Sebagaimana Al-Ghazali tegaskan, keteraturan dan keterbukaan pemerintah adalah ciri pemerintahan yang adil. Sebaliknya, dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali berkata:
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك
“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa.” Naudzubillah. Wallahu a’lam
Hayatul Islam (Ketua Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri)