Sektor ketenagalistrikan memiliki peran penting dalam mencapai target emisi bersih (net zero emission) pada tahun 2060. Namun, sektor ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan seperti finansial, kebijakan politik dan aturan hukum.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat bahwa sektor ketenagalistrikan di Indonesia telah menyumbang 280 metrik ton CO2 pada 2020. Tanpa intervensi penggunaan sumber energi baru terbarukan, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 920 metrik ton pada tahun 2060. Indonesia, sebagai negara yang sudah berkomitmen untuk mencapai target bebas emisi dalam 40 tahun ke depan, perlu melakukan upaya untuk memaksimalkan penggunaan energi bersih.
PLN telah melakukan upaya untuk memaksimalkan penggunaan energi bersih. Pada dua tahun lalu, PLN sudah menghapus 13 gigawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis pada batubara, yang tercantum dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Setiap pengurangan 1 gigawatt PLTU dapat menurunkan produksi CO2 sekitar 6 juta metrik ton. Jika PLN mampu menghapus 13 gigawatt setiap tahun selama 25 tahun ke depan, maka perusahaan ini mampu mencegah produksi sekitar 1,8 miliar metrik ton CO2.
PLN juga memastikan produksi listrik melalui PLTU langsung diganti dengan pembangkit listrik bertenaga energi baru terbarukan (EBT) yang beroperasi sebagai base load selama 24 jam. PLN merencanakan penambahan pembangkit sebesar 51,6% sejak sekarang hingga tahun 2030, dengan menggunakan energi baru terbarukan sebagai dasar utama dalam program hijau terbesar dalam sejarah PLN dan Indonesia.
Memang, target berhenti menggunakan batubara pada tahun 2060 tetaplah tidak mudah. Kendala utama dihadapi adalah pengaturan dasar hukum yang belum siap. Perpres 112/2022 sudah memenuhi dua dari dua belas kebutuhan norma, tetapi masih ada sembilan norma lagi yang belum ada pengaturannya. Masa berlaku kontrak pembelian energi menjadi faktor utama pada saat menerapkan program bebas emisi.
Dewan Perwakilan Rakyat menjanjikan dukungan penuh terhadap target bebas emisi, termasuk dari sisi dasar hukum. Komisi VII DPR berupaya agar undang-undang energi baru terbarukan keluar untuk menciptakan iklim investasi dan memberi sebuah ekosistem yang sehat bagi perkembangan energi baru terbarukan.