Di mata orang awam, kerbau rawa terlihat sama saja. Namun, warga Desa Sapala dapat dengan mudah mengenali kerbau rawa mereka di tengah gerombolan kerbau rawa milik tetangga.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Ammuntai
Cuaca masih cerah pada Rabu (15/3) sore itu. Angin yang berhembus pelan, ditambah perut kenyang, bikin mata ngantuk.
Tapi, sayang sekali melewatkan kesempatan ini demi tidur siang. Lebih baik mengunjungi Kalang Hadangan (kandang kerbau rawa).
Samar-samar terdengar suara handy talky yang diadakan Ating, anggota Pokdarwis Rawa Pesona.
Ating tampak serius membalas suara di seberang sana. Yang dibahas adalah kalangan mana yang akan dikunjungi. Dan sebaiknya menggunakan perahu besar atau kecil.
“Pokoknya pakai ukuran kecil. Lebih nyaman jalan-jalan di pinggir danau,” saran salah satu warga.
“Nggak mending pakai yang besar. Anginnya kencang. Khawatir ombak besar,” kata yang lain.
Kami hanya diam mendengarnya. Keduanya memiliki pendapat yang sama benarnya.
Jadi, kapal mana yang harus dipilih? “Gunakan saja keduanya,” kata Firdaus, Bendahara Pokdarwis Pesona Rawa Sapala.
Tidak ada perdebatan, mereka semua setuju.
Menjelang malam, kami berangkat dari balai Posyandu Ikan Patin menuju dermaga. Sebelumnya singgah sebentar di salah satu rumah pengrajin bubu.
Di sana, kami bertemu Asiah. Di teras rumah ia asyik menganyam sisi-sisi bubu. Bentuk persegi panjang. Bahan utamanya adalah kawat besi. Orang Sapala biasa menyebutnya tampirai.
“Ikan di sungai ini banyak. Ada baung, lele, nila, saluang, lundu, siam sepat, gabus dan lain-lain,” ujar perempuan berusia 37 tahun itu.
Bisa dibilang, mencari ikan di sini sangat mudah, lanjutnya.
Kondisi itu dibenarkan Kepala Desa Sapala, Junaidi. Selain mudah ditangkap, juga mudah dijual. Karena pasarnya sudah jelas.
“70 persen warga Desa Sapala bergantung pada nelayan. Kemudian, 30 persen lainnya beternak kerbau rawa,” ujarnya.
Di atas perahu tersebut, bersama dengan pengendara motor, rombongan yang berada di atas perahu yang penulis tumpangi berjumlah 14 orang.
Deru mesin perahu memekakkan telinga. Dari Desa Sapala, perahu dibawa keluar desa. Melintasi banyak pohon rawa yang khas.
20 menit kemudian, kami tiba di lapangan rawa. Saking lebarnya, sampai ujung-ujungnya tidak jelas. Penduduk setempat biasa menyebutnya danau.
Di kejauhan, dua pilar berdiri kokoh. Masing-masing dilengkapi dengan gubuk kecil. Fungsinya untuk menambatkan perahu dan menghilangkan kepenatan penggembala.
Air danau begitu tenang. Namun ketika angin bertiup, ombak mengambil alih bagian dalam perahu.
Tak lama kemudian, perahu yang ditumpangi penulis tiba di salah satu bangkai kapal. Kami melihat bahwa hanya ada dua kendala. Salah satunya masih kecil
Tidak ada seorang pun di gubuk itu. Tak lama kemudian, Firdaus dan kawan-kawan datang dengan dua perahu kecil bermesin tempel.
“Paman Syahri masih mengejar (memandu) (kerbau rawa) menuju kalang (kandang). Tunggu saja, sebentar lagi akan terlihat,” kata Firdaus.
“Itu dia,” seru Hamidan, rekan Firdaus.
Di kejauhan, kami melihat seorang pria berdiri di atas kano. Memegang tiang panjang, dia membimbing lebih dari 10 kerbau rawa keluar dari tengah pepohonan yang rimbun.
Aneh. Kerbau rawa yang beratnya mencapai ratusan kilogram ini sebenarnya pandai berenang melintasi perairan yang dalam.
Punggungnya menyembul ke permukaan air. Kepalanya menengadah ke atas permukaan air.
“Sejak lahir sebenarnya kerbau rawa sudah jago berenang,” jelas Hamidan.
Dia kemudian membawa kami untuk melihat anak kerbau rawa yang sedang bersama induknya di sungai. Dia baru berumur seminggu.
“Sebenarnya bisa berenang. Tapi belum bisa dilepas. Masih belum bisa jauh dari induknya,” ujarnya.
Saat mereka berumur empat dan lima minggu, mereka dilepaskan. Untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. “Tentu saja masih dalam pengawasan,” tegasnya.
Kerbau rawa atau hewan dengan nama latin Bubalus Bubalis Carabanesis merupakan jenis kerbau khas Asia Tenggara.
Di Kalimantan Selatan kerbau rawa banyak dipelihara di daerah yang memiliki lahan rawa yang luas dan sumber pakan alami. Salah satunya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Apa bedanya dengan kerbau darat? Hal ini terlihat dari kulitnya yang cenderung berwarna abu-abu dan coklat. Alhasil, kerbau rawa menghabiskan lebih banyak waktu untuk mandi.
Kerbau rawa juga memiliki tanduk yang lebih panjang dari kerbau darat.
Lalu, sejak kapan kerbau rawa dipelihara oleh masyarakat Desa Sapala? Tidak ada tahun pastinya, jawabannya sudah sejak zaman dahulu kala. “Kami mewarisinya dari generasi ke generasi,” kata Hamidan.
Di sana, Syahri terlihat sibuk mengejar seekor kerbau yang berenang keluar dari rombongan.
Kerbau itu benar-benar mendekati tebing. Menginjak tangga, ketika dia naik dia mengerang dan terdiam beberapa saat.
“Kerbau rawa malu saat melihat kerumunan orang di atas tali, apalagi saat menumpuk di dekat tempat mereka memanjat,” kata Hamidan.
Oh, ternyata hewan yang satu ini juga bisa gugup.
Secara bergiliran, kerbau rawa naik ke bagian belakangnya. Saat ekor terakhir terangkat, Syahri tampak gembira.
Dilihat dari besar kecilnya kelompok kerbau, penulis penasaran, bagaimana bisa membedakan kerbau satu peternak dengan yang lain?
Mengingat jika dilihat-lihat, tidak ada ciri khusus yang membedakannya.
Hamidan menjelaskan, penggembala yang berpengalaman tahu di mana letak perbedaannya.
Bisa melalui tanda yang diberikan penggembala, misalnya coretan cat di telinga. Atau dari kalung di leher kerbau, atau dari bentuk tanduk yang sedikit berbeda.
“Satu lagi. Meski tidak terlihat jelas, sebenarnya jika diperhatikan dengan seksama, wajah kerbau itu berbeda,” ujarnya.
Penulis yang penasaran melihat dari dekat kerbau yang sedang memanjat tebing. Benar-benar tidak bisa dibedakan. Di mana-mana kerbau terlihat sama.
Dan bukannya bisa mengenalinya, kerbau yang dipelototi penulis justru melotot ke belakang dan bersiap untuk memukul. (lanjutan)