Beberapa minggu belakangan tawaran “daftar haji langsung berangkat” marak beredar di grup Whatsapp. Terlepas dari tingginya harga dan syarat kondisi, informasi ini sontak menimbulkan sejumlah pertanyaan dari pembaca.
Apakah tawaran ini legal dan bukan penipuan. Apakah mungkin bisa langsung berangkat sementara antrean saat ini sudah mencapai lebih dari 25 tahun. Apakah sistem pendaftaran sama seperti haji reguler atau haji khusus. Bagaimana mekanisme pemberangkatan, dan pertanyaan lain yang tidak bisa langsung bisa dijawab serta membutuhkan renungan lebih mendalam.
Satu sisi ada harapan pelipur rindu tanah suci, pun di sisi lain ada cemas menghantui. Jangan sampai tertimpa kejadian sebagaimana mendera jemaah kurang beruntung. Penipuan, uang dibawa kabur, gagal berangkat, deportasi, terlantar di tanah suci, tidak ada pendampingan dan pelayanan, adalah sederet kejadian yang menimpa mereka. Pun tidak sedikit yang berhasil berangkat, sukses.
Tahun 2022 ini Kementerian Agama mencatat ada 1.889 jemaah Haji Mujamalah sukses melaksanakan ibadah haji melalui 106 Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Dewi, salah seorang yang berhasil berangkat haji tahun 2022. Dia bercerita membeli paket Haji Mujamalah seharga USD 17.000 dari salah satu PIHK di Jakarta. Dia kemudian berangkat haji selama 20 hari menuju Jeddah, Mekkah, Madinah, dan kembali ke Indonesia. Selama di Tanah Suci, Dewi mendapat pelayanan sebagaimana jemaah haji khusus pada umumnya.
Itu adalah salah satu contoh sukses melaksanakan ibadah melalui jalur Haji Mujamalah. Sementara mereka yang gagal berangkat, tidak pernah terdeteksi bagaimana nasibnya. Apakah uang bisa kembali, apakah akan diberangkatkan tahun berikutnya. Semua minim informasi dan cenderung tidak menjadi konsumsi publik.
Tidak mudah mendapatkan informasi bagaimana nasib calon jemaah Haji Mujamalah yang gagal berangkat, kecuali sang calon jemaah membuka diri, curahkan aduan via media publik. PIHK selaku penyelenggara biasanya tidak akan membuka informasi dan memilih diam tatkala terjadi kasus jemaah tidak berangkat. Sementara bagi jemaah belum ada saluran untuk menyampaikan dan mengadukan persoalan yang menimpa dirinya.
***
Istilah yang beredar dan dikenal oleh masyarakat dari haji jenis ini cukup beragam. Ada sebagian mereka menyebut dengan istilah “haji non kuota”, “haji furoda”, “haji backpacker”, atau “haji undangan”. Namun yang resmi termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019, haji jenis ini disebut dengan “Haji Mujamalah”.
Dalam sejarahnya “daftar haji langsung berangkat” memang betul adanya. Bahkan untuk kuota resmi Indonesia, daftar langsung berangkat terjadi di tahun-tahun sebelum 2007. Kita masih dapat mengingat, siapa pun saat itu yang ingin berangkat haji dapat mendaftar dan langsung berangkat pada tahun yang sama. Namun seiring waktu dengan semakin meningkatnya girah beragama dan kemampuan ekonomi, pendaftar semakin banyak dan antrean haji semakin panjang.
Fenomena haji di luar kuota resmi sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun silam. Relasi bisnis yang dibangun sejak jaman keemasan “Syekh” (sebutan saat itu untuk pendamping sekaligus pembimbing haji di Arab Saudi), membuahkan mudahnya memperoleh visa undangan dari mitra bisnis di Arab Saudi. Selain itu, dari sisi pemberangkatan jemaah tidak ada persoalan di imigrasi, baik di Indonesia maupun Arab Saudi. Peluang bisnis ini kemudian menjadi marak, karena dari sisi ekonomi dinilai menghasilkan untung lebih dibanding haji khusus yang dikelola.
Persoalan kemudian muncul karena lebih pada rasa tidak adil kepada warga Indonesia dan pelindungan yang diberikan selama di luar negeri. Pemerintah mencatat mereka sebagai pelancong biasa bukan jemaah haji. Hal inilah yang sering menimbulkan persoalan di lapangan. Koordinasi tingkat Kementerian dan Lembaga menjadi kurang terkonsentrasi dan kehabisan energi untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dari jemaah haji pelancong.
***
Kita sebagai umat Islam, tentu tahu bahwa ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima bagi mereka yang mampu. Namun siapa sangka, seiring perjalanan waktu ibadah haji menjadi peluang bisnis yang menarik. Tumbuhnya Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) baru yang mendapatkan izin operasional setiap tahun, menjadi bukti betapa bisnis haji dan umrah semakin menjanjikan.
Sebagaimana data yang dirilis Kementerian Agama, sepanjang 2021 jumlah PIHK tumbuh 10%. Sebanyak 40 izin operasional baru sebagai PIHK telah diterbitkan. Saat ini, secara keseluruhan jumlah PIHK di Indonesia sebanyak 422 PIHK. Jumlah tersebut hampir 50% di antaranya berdomisili di wilayah Jakarta.
Ibarat jamur tumbuh di musim hujan, tawaran Haji Mujamalah pasca pandemi COVID-19 akan lebih marak. Rasa rindu calon jemaah haji yang pupus selama Pandemi COVID-19 berpotensi menjadi pasar menjanjikan. Terlebih keberadaan haji jenis ini termuat dalam UU. Lantas bagaimana kita sebagai umat Islam mewaraskan diri dalam menyikapi tawaran menggiurkan.
Haji Mujamalah dalam Undang-Undang
Dengan terbitnya UU Nomor 8 tahun 2019, penyelenggaraan haji non kuota yang sebelumnya terkesan “kucing-kucingan” dengan pemerintah, kini bisa dilaksanakan secara resmi. Pelaksanaannya telah diatur secara baik untuk meminimalkan potensi risiko yang berdampak terhadap diri jemaah dan penyelenggara.
Tanggung jawab penyelenggaraan Haji Mujamalah dimandatkan UU kepada PIHK. Artinya dalam hal ini PIHK secara resmi dapat membuat paket, memasarkan, membuka pendaftaran dan memberangkatkan jemaah Haji Mujamalah. Dengan demikian PIHK yang menyelenggarakan Haji Mujamalah wajib memberikan pelayanan secara penuh kepada jemaah minimal mencakup tiga hal utama, yakni pembinaan, pelayanan dan pelindungan.
Pembinaan dalam arti PIHK memastikan jemaah haji memahami dan mampu melaksanakan rukun dan wajib haji secara baik dan benar. Pelayanan mencakup penyiapan dokumen, transportasi, akomodasi, konsumsi dan pelayanan kesehatan. Pelindungan termasuk jaminan atas keselamatan jiwa selama melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci dan jaminan materiil bila terjadi gagal berangkat.
Dari jenis kuota, UU menyebut ada dua jenis. Pertama, visa haji kuota Indonesia, sebut saja sebagai visa negara. Kedua, visa Haji Mujamalah, merupakan visa undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Artinya visa Haji Mujamalah telah resmi masuk dalam UU. Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa Haji Mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi berhak untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana haji kuota negara.
Meski demikian, dalam hal menawarkan paket Haji Mujamalah kepada calon jemaah, PIHK memiliki kewenangan penuh untuk mengatur harga paket beserta isi layanan dan jadwal perjalanan. Bisa mencakup lama tinggal di Tanah Suci, hotel yang digunakan, jenis pesawat, dan lain sebagainya. Sehingga harga yang ditawarkan bisa jadi berbeda antar PIHK.
Peran Kementerian Agama
Bagi PIHK yang menyelenggarakan Haji Mujamalah wajib melaporkan kepada Menteri Agama. Kewajiban melapor ini juga diatur dalam UU. Artinya kini tidak ada lagi penyelenggaraan Haji Mujamalah yang tidak dilaporkan kepada pemerintah melalui Kementerian Agama. Kehadiran laporan ini penting sebagai bagian dari peran negara melindungi warganya di luar negeri.
Bagi PIHK yang tidak melapor akan dikenai sanksi administratif, berupa teguran hingga pencabutan izin. Sejalan itu, Kementerian Agama mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada PIHK yang menyelenggarakan Haji Mujamalah. Kini, Kementerian Agama telah menentukan sejumlah titik dan simpul pengawasan yang berpotensi terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan Haji Mujamalah.
Sikap Calon Jemaah Haji
Semangat ingin berhaji melalui Haji Mujamalah pada dasarnya sah-sah saja. Bahkan pintu ini merupakan kesempatan bagi mereka yang secara ekonomi cukup untuk melaksanakan ibadah haji tanpa menunggu bertahun lamanya. Namun sebelum mengambil keputusan, ada baiknya kita mengetahui sejumlah akar persoalan yang dapat menjerat pada diri calon jemaah.
Keinginan berhaji perlu dibarengi cara berpikir logis. Ada beberapa kejadian yang berpotensi melanggar ketentuan. Pertama, Haji Mujamalah diselenggarakan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), majelis taklim atau oknum lainnya. Hal ini jelas melanggar UU.
Secara mandat, penyelenggaraan Haji Mujamalah hanya diberikan kepada PIHK bukan PPIU atau lainnya. Apabila ada pihak selain PIHK menawarkan dan menyelenggarakan Haji Mujamalah bisa dikenakan pasal penipuan. Karena itu, pastikan calon jemaah mendaftar Haji Mujamalah melalui PIHK yang berizin dari Kementerian Agama.
Kejadian 46 warga yang gagal berangkat haji tahun 2022 dan terlantar di bandara Jeddah seharusnya cukup jadi pelajaran. Mereka tertahan lantaran menggunakan visa Haji Mujamalah negara Malaysia dan Singapura tapi berangkat dari Indonesia. Mereka diberangkatkan bukan oleh PIHK resmi melainkan PT. Al Fatih unit usaha bisnis bentukan dari sebuah yayasan pendidikan.
Kedua, membayar setoran awal. Pada prinsipnya dalam dunia bisnis hal seperti ini biasa saja untuk menarik minat dan memberikan keringanan kepada calon jemaah. Namun perlu kita tahu, bahwa ide dasar Haji Mujamalah adalah haji yang dikemas “daftar langsung berangkat” pada tahun yang sama.
Selain itu ketersediaan kuota visa undangan bersifat relatif tergantung kebijakan pemerintah Arab Saudi dan ekosistem relasi bisnis yang dibangun antara PIHK dengan pihak di Arab Saudi. Hal ini bisa menyebabkan pasang surut tersedianya visa undangan yang akan ditawarkan ke calon jemaah.
Ketiga, risiko sepenuhnya ada di tangan PIHK dan jemaah. Tidak seperti halnya haji reguler dan haji khusus. Haji reguler, pelindungan jemaah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara untuk Haji Mujamalah, bila ada kejadian yang menimpa kepada jemaah baik dalam persiapan, perjalanan maupun pelaksanaan haji, sepenuhnya tanggung jawab PIHK dan jemaah.
Dalam penanganan kejadian, tentu sangat tergantung dari reputasi dan kapasitas PIHK. Ada PIHK yang sangat bertanggung jawab bahkan termasuk memberikan jaminan asuransi dan pengembalian uang bila gagal berangkat. Namun tetap ada kemungkinan yang mengabaikan kewajiban atas pelindungan kepada jemaah.
Kesimpulan yang bisa disampaikan, satu sisi Haji Mujamalah adalah tawaran bisnis yang menarik bagi calon jemaah. Di sisi lain haji ini memiliki risiko tinggi. Meski begitu, semua kembali kepada calon jemaah untuk menyikapi. ***
Rosidin (Statistisi Ahli Madya Kemenag dan Pemerhati Haji)