Indonesia sedang mengalami serangan panas atau “hot spells” yang berbeda dengan gelombang panas atau “heatwave” yang sedang dialami oleh beberapa negara di Benua Asia seperti Bangladesh dan Thailand. Gelombang panas dapat terjadi di wilayah daratan yang luas seperti benua, sementara sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan sehingga sulit terjadi gelombang panas di sana. Namun, Indonesia tidak terbebas dari risiko serangan panas yang dapat meningkatkan risiko perburukan kualitas udara, kasus penyakit menular ataupun tidak menular, serta kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erma Yulihastin dan timnya, Indonesia rentan mengalami “hot spells” jika suhu rata-rata harian melebihi 27,8 derajat Celcius selama minimal tiga hari berturut-turut. Fenomena ini terjadi pada setiap bulan kecuali bulan Desember-Januari-Februari atau pada saat musim hujan. Badan Riset dan Inovasi Nasional juga memproyeksikan bahwa Indonesia, terutama Jawa Timur dan Madura, akan mengalami peningkatan suhu maksimum yang merata hingga tahun 2050 seiring dengan laju kenaikan suhu global yang diprediksi terus meningkat.
Untuk meredam dampak serangan panas yang semakin intens dan meluas, pemerintah perlu melakukan pemetaan proyeksi “hot spells” hingga 2050 di wilayah Indonesia dan ASEAN, mengevaluasi efektivitas Indonesia dalam menekan emisi karbon untuk meredam perubahan iklim, meningkatkan koordinasi pusat-daerah dalam merealisasikan kebijakan yang mendukung mitigasi perubahan iklim, dan membuat skenario terburuk serangan panas hingga 2035 berdasarkan indikasi peningkatan suhu global 1,5 C. Masyarakat juga perlu mempersiapkan diri secara psikologis dalam menghadapi tahun-tahun mendatang yang lebih panas dengan menjaga tubuh tetap terhidrasi dengan baik, melindungi kulit dari paparan radiasi ultraviolet, dan mengurangi aktivitas di luar ruangan yang terlalu lama.