Kuburan massal para korban Grey Friday tidak lagi kosong. Setidaknya untuk Selasa (23/5). Di lahan seluas 26×4 meter di Gang PDI Jalan Ahmad Yani Km 22 Banjarbaru itu, lebih dari seratus jenazah korban Jumat Kelabu dimakamkan.
Beberapa keluarga korban dan rombongan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat (ULM) datang untuk berziarah.
Para siswa melakukan aksi tabur bunga, kemudian membacakan doa ucapan selamat untuk arwah.
Tepat 26 tahun lalu, dilaporkan 123 orang tewas, 118 luka-luka, dan 179 orang hilang dalam kerusuhan (versi Tim Pencari Fakta YLBHI).
Ketua Jurusan Pergerakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ULM, Muhammad Syamsu Rizal mengatakan, mereka khawatir karena masyarakat mulai melupakan kerusuhan 23 Mei 1997. “Apalagi di kalangan anak muda, banyak yang tidak tahu tentang tragedi ini. Mungkin mereka tidak peduli,” katanya. Jadi ziarah itu upaya sederhana untuk melestarikan kenangan kerusuhan menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
“Gray Friday harus direnungkan agar ke depan kejadian serupa tidak terulang lagi,” imbuhnya. Diakuinya, ziarah ini merupakan aksi spontanitas. “Kami berharap bisa membantu menyembuhkan luka keluarga yang ditinggalkan,” ujarnya. Sore harinya, di depan kampus ULM di Banjarmasin, mahasiswa mengadakan acara nyala lilin untuk para korban Grey Friday.
Salah satu penjaga makam, kata Samuji, kuburan massal ini semakin sepi. “Semakin sepi setiap tahun,” katanya. Bersama rekannya Sabirin, keduanya rutin memotong dan menyemprot rumput liar yang tumbuh di lahan pemakaman.
Sekali Cukup
Bahkan setelah 26 tahun berlalu, hati Faridah masih berduka. Putranya, Fathur, menghilang di tengah kerusuhan pada 23 Mei 1997.
“Saya hanya bisa berdoa semoga dia beristirahat dengan tenang di sana,” kata wanita berusia 63 tahun itu dengan air mata berlinang. Warga Kelayan, Banjarmasin Selatan, sebenarnya tak pernah menemukan jenazah Fathur. Tapi dia yakin putranya dimakamkan di kuburan massal Grey Friday bersama para korban lainnya. Itu sebabnya Faridah berziarah ke pemakaman umum milik Pemko Banjarmasin itu, minimal setahun sekali.
Saat menghilang, Fathur masih duduk di bangku kelas dua SMA (kelas sebelas). Almarhum adalah anggota marching band SMAN 4 Banjarmasin yang diundang untuk memeriahkan hari terakhir kampanye Golkar pada pemilu 1997.
Ia menceritakan, Fathur keluar rumah dengan wajah ceria. Faridah tidak pernah menyangka bahwa ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. “Setelah itu, Fathur tidak pernah pulang,” katanya.
Hari itu, Banjarmasin benar-benar mencekam. Faridah hanya berani keluar rumah untuk mencari anaknya keesokan harinya.
Mengenakan seragam Pramuka yang biasa dikenakan putrinya, Faridah mendatangi Mitra Plaza di Jalan Pangeran Antasari, pusat kerusuhan. Namun, dia dicegat oleh sejumlah petugas yang berjaga.
Karena hari Sabtu, Faridah membawakan seragam agar anaknya bisa berganti pakaian dan langsung berangkat ke sekolah.
“Gedung Mitra dilengkapi dengan garis polisi. Dijaga oleh baret merah. Mereka menyuruh saya pulang,” katanya.
“Lebih baik pulang saja biar aman,” kata Faridah menirukan ucapan petugas.
Farid menyerah. Sepuluh hari kemudian, ia mendapat kabar bahwa telah dilakukan pembasuhan jenazah para pelaku kerusuhan di rumah sakit, sebelum korban dimakamkan secara massal sesuai tata cara Islam.
Dia datang dan melihat lebih dari seratus mayat yang hangus dan tidak dapat dikenali lagi.
“Setidaknya aku bisa melihat tubuhnya untuk terakhir kalinya. Padahal saya tidak tahu itu Fathur yang mana,” ujarnya.
Faridah akhirnya bisa melepas anaknya pergi. Ia hanya berharap Grey Friday tidak terulang di Bumi Antasari.