AIDHA Elma Syarifah adalah seorang penari profesional untuk genre tari tradisional.
Di saat anak-anak muda lainnya berkecimpung dalam tari modern, gadis kelahiran Amuntai 16 Maret 2000 ini tegas. Ia belajar tari klasik Banjar dan Japin.
Menurut Elma, keduanya memiliki tantangan tersendiri. Tari klasik Banjar mengedepankan gerak teratur, penuh kelembutan dan kesopanan.
“Ini tarian keraton, mencerminkan budaya Banjar dan ada standarnya,” ujarnya.
Sedangkan Japin merupakan tarian rakyat. Lebih lincah dan bisa dikreasikan. Selain harus kreatif, faktor estetika, ekspresi dan kekompakan gerak juga menjadi penilaian.
Melirik ke belakang. Naluri artistiknya muncul sejak usia muda. Tepatnya saat dia berumur empat tahun.
Elma kecil suka meniru tarian India. Dari film-film Bollywood yang sering diputar berulang kali di televisi.
Sang ibu kemudian mendaftarkannya ke Sanggar Air di Hulu Sungai Utara (HSU) pada tahun 2004.
Di sana dia melanjutkan, sampai dia mendapat kesempatan berharga. Elma dipercaya menjadi aransemen tarian kolosal untuk perayaan hari jadi kabupaten tersebut pada tahun 2017.
“Pertama kali menjadi koreografer. Pengalaman yang tak terlupakan,” ujarnya.
Bakat itu berkembang. Tahun 2018, Elma melanjutkan studinya di Banjarmasin. Ia diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Seni Pertunjukan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Pada tahun yang sama Elma bergabung dengan Sanggar Seni Nuansa Kalsel. Di sanalah Elma menggali bakatnya lebih dalam.
“Saya banyak belajar saat bergabung dengan Nuansa, juga networking,” ujarnya.
Bersama Nuansa, Elma menari di sejumlah acara bergengsi. Tidak hanya di tingkat provinsi, bahkan nasional dan internasional. Salah satu yang paling berkesan yaitu tampil di International Mask Festival 2022 di Solo.
Ini adalah puncak dari festival tari topeng. Tari topeng dari berbagai negara dipertunjukkan. Dari Singapura, Rusia, Australia, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Inggris, Ekuador dan tentunya dari Indonesia.
“Sangat efektif,” katanya.
Elma dan kawan-kawan juga pernah tampil di berbagai kota di Indonesia. Seperti Jakarta, Padang, Palembang, Lombok, Bandung, Bali dan masih banyak lagi.
Sejumlah prestasi juga ditorehkannya. Seperti Best Dance Performer dari Welcome Dance Competition Kalimantan Selatan 2018. Kemudian ia dan timnya meraih predikat Best Presenter I Festival Karya Tari Daerah 2021.
Bicara soal inspirasi, ada dua sosok yang menurutnya bisa menjadi panutan. Yakni pendiri sekaligus koreografer Sanggar Seni Nuansa, Dini Maulidya (Dea Sanderta). Juga Abib Igal, koreografer dari Kalimantan Tengah.
“Kak Dea sangat kreatif dan pandai membuat ide cerita tari. Sedangkan Kak Abib memiliki ide-ide liar. Dia bisa mendapatkan inspirasi gerakan dari mana saja, ”katanya.
Sekarang, Elma telah menyelesaikan studinya. Kariernya tidak berakhir di sini. Dia bertekad untuk kembali ke tanah airnya.
Di Amuntai, Elma ingin aktif kembali di studio lamanya. Mengajak dan membimbing mahasiswa baru, agar lebih mencintai tarian daerah.
“Karena ini bukan sekadar hobi, tapi juga misi pelestarian budaya,” ujarnya.
Kini Elma telah diterima menjadi guru di SMPN 2 Amuntai sebagai guru seni budaya.
Ia berpesan kepada para pemuda lainnya untuk tidak berhenti berkarya. “Maju terus, jangan malu-malu. Lestarikan budaya, karena kalau bukan kita siapa lagi?” dia selesai.(tia/gr/fud)