Diperbarui: 3 April 2023 23:38
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Kasus penipuan berkedok penawaran umroh sudah lama terjadi. Pada tahun 2017 penipuan umroh yang menjerat calon jemaah hingga puluhan ribu korban bernilai milyaran rupiah dilakukan First Travel. Diduga penipuan umroh marak namun tidak banyak yang mucul dipermukaan dan luput dari pantauan publik. Sehingga tidak dapat dideteksi berapa jumlah sebenarnya yang ditimbulkan dari kerugian penipuan tersebut. Kini muncul kembali kasus penipuan penyelenggaraan umroh dengan pelaku suami isteri atas nama PT Naila Syafaah Wisata Mandiri.
Lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan perjalanan umroh dimanfaatkan oleh para oknum untuk menipu sejumlah jamaah yang ingin segera berangkat umroh. Karena keinginan dan harapan itu jamaah tak segan menjual harta yang dimiliki agar bisa berangkat umroh atau berhaji.
Sayangnya keinginan jama’ah yang baik tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup terkait dengan perizinan, aturan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan penyelenggaraan umoh. Sehingga sejumlah jama’ah mudah tertipu, uang melayang dan tidak berangkat, bahkan ada yang diberangkatkan tetapi ditelantarkan. Anehnya ratusan cabang travel umroh ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia berjalan tanpa kendala dan melenggang memakan korban. Lalu kemana pejabat yang bertugas mengawasi penyelenggaraan ibadah umroh ?
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) pada Pasal 1 ayat 19 disebutkan bahwa Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah. Sedangkan Pasal 99 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. Dan ayat 2 menyatakan bahwa Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. Dan pada Pasal 90 Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah mendapat izin dari Menteri. Artinya para pemilik travel umroh harus memiliki izin yang sah untuk menjalankan aktivitasnya.
Masyarakat mengharapkan pemerintah maksimal memberikan perlindungan sebab UU PIHU meliputi berbagai ketentuan teknis dari perizinan, pelayanan, akreditasi, serta hak dan kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) serta berbagai ketentuan pidana. Namun fakta yang terjadi seorang residivis penipuan travel umroh dapat kembali beraksi dengan kasus penipuan yang sama.
Pemerintah dalam UU PIHU merupakan penanggungjawab terhadap penyelenggaraan umroh dan haji tapi faktanya banyak jemaah yang gagal berangkat dan juga terlantar di negeri orang hingga berbulan-bulan.
Padahal pada Pasal 99 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. Pertanyaannya mengapa bisa ada kasus yang merugikan dengan pelaku yang sama dengan dengan modus penipuan yang sama, yakni penyelenggarakan umroh. Padahal sebagai penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah pemerintah membuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. Fakta yang terjadi PT Naila Syafaah Wisata Mandiri berselancar membuka cabang di seluruh daerah dan anehnya ilegal.
Penulis melihat kecerobohan bukan hanya pada pemerintah semata yang cenderung menutup mata terhadap berlangsungnya aktivitas penyelenggaraan umroh dan haji secara ilegal. Masyarakat pun sama lengah dan lemah pengetahuan terhadap aturan yang berlaku.
Ironisnya penipu didukung oleh para asatid, marbot mesjid, jamaah pengajian dan pengurus-pengurus ormas Islam yang turut memarket keberangkatan umroh. Yang menjadikan iris mereka tergiur dengan metode janji cashback, misalnya setiap merekrut satu calon jamaah mendapat cashback Rp 1 juta, atau setiap membawa 10 jamaah maka dapat satu tiket keberangkatan.
Metode ini sukses menggiring para asatid turut menjadi broker ibadah umroh dengan harapan dapat berangkat tanpa biaya. Yang lebih mengerikan lagi arisan umroh. Ada beberapa kelompok yang mengadakan arisan umroh, dengan modal satu atau dua juta sudah bisa berangkat umroh. Ada juga penyelenggara umroh yang memberikan metode kredit atau sistem cicil. Pengalaman penulis ketika mencoba menyampaikan pandangan terkait dengan metode-metode tersebut tidak rasional dan umroh bukan ibadah paksa karena belum mampu secara financial maka menggunakan cara-cara yang melanggar norma-norma agama dan aturan yang ditetapkan agama, langsung ditolak dan dijauhi karena dianggap tidak satu frekuensi dengan mereka.