BERAS yang hampir panen diperlakukan seperti anak kecil yang akan datang dari perantauan. Kedatangannya sangat ditunggu-tunggu.
Suku Dayak di pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) akan menyambut panen dengan upacara adat yang biasa disebut aruh.
Ibarat pesta, tujuannya adalah sebagai ungkapan terima kasih atau tolak bala. Saat aruh digelar, desa tuan rumah akan dipadati pengunjung.
Paling ramai saat Aruh Bawang. Bisa sampai berhari-hari. Aruh yang satu ini, merupakan ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.
Penulis mengunjungi Aruh pada pertengahan tahun 2019. Tepatnya di Desa Muara Hungi. Berjarak 33 kilometer dari Barabai yang merupakan pusat distrik.
Di sana penulis bertemu dengan Utut yang saat itu berusia 70 tahun. Dia adalah seorang balian di desa.
Di aruh, balian bertugas menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas. Termasuk antara urusan makhluk halus dengan yang masih hidup.
Ia menjelaskan, Aruh Bawanang juga dikenal sebagai Aruh Ganal. Yang berarti upacara adat besar. Disebut demikian karena dilakukan secara besar-besaran oleh seluruh warga desa.
Turut hadir para undangan dari desa lain. Sedangkan Aruh Kecil hanya untuk lingkungan keluarga.
Bawangang hanya digelar saat hasil panen memenuhi harapan warga. Jika panen tidak sesuai harapan, warga hanya menggelar Aruh Kecil. Atau bahkan tidak diadakan sama sekali.
Untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan, masyarakat berkonsultasi dengan kepala desa dan kepala adat. Pada umumnya Bawanang diadakan antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 15.
Masyarakat setempat percaya bahwa rejeki selalu bertambah jika diadakan upacara pada tanggal-tanggal tersebut.
“Selain sebagai bentuk rasa syukur Bawanang, juga dimaksudkan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar di tahun yang akan datang kita bisa kembali diberikan panen yang melimpah,” kata Utut.
Ia menambahkan, melalui upacara adat ini warga berharap dijauhkan dari segala bahaya, penyakit dan makhluk yang merusak perkebunan atau pertanian.
Di Balai Adat, tempat diadakannya aruh, terdapat banyak hidangan dan berbagai aksesoris. Salah satu yang terpenting disebut Langgatan Papatangkalak. Atau yang utama dari wadah persembahan.
Wadahnya terbuat dari potongan bambu berbentuk persegi panjang. Dalam upacara aruh, Langgatan Papatangkalak digantung di tengah pendopo. Dihiasi dengan helaian daun lontar yang sudah menguning dan hiasan lainnya yang terbuat dari kain dan daun.
“Made square. Harapannya untuk melindungi seluruh warga dari mara bahaya yang datang dari berbagai arah,” kata mendiang Haris.
Ia adalah kepala adat suku Dayak di kecamatan Batang Alai Timur (BAT) saat itu.
Balai Adat bernama Putra Balian yang penulis kunjungi dipenuhi oleh masyarakat dari segala usia. Mereka dengan antusias mengikuti Bawaang.
Acara dibuka oleh para balian yang duduk mengelilingi Papatangkalak Langgatan. Diantaranya adalah pemimpin balian yaitu kepala Balai Adat. Dia duduk di atas matras.
Mulut pria berusia 73 tahun bernama Tuit itu bergumam. Bersamaan dengan itu, suara pukulan Gandang dan Kalamit terdengar menggelegar.
“Beliau mengabarkan kepada Yang Maha Kuasa bahwa upacara sudah dimulai,” bisik Kintil, Ketua RT 1 Desa Muara Hungi.
Selain meminta izin agar upacara dapat berjalan lancar, Tuit juga mengundang arwah para leluhur atau datu untuk mengikuti pengaruh tersebut.
Setelah itu, Tuit dan balian asyik menyeka Gelang Hiang di atas asap dupa. Beberapa saat kemudian, Tuit dan balian yang tadi duduk tadi berdiri.
Wajah si balian mendongak ke depan Langngan. Tubuh mereka sedikit membungkuk dan tangan terlipat ke belakang seperti menggendong. Tiba-tiba, mereka menghentakkan kaki mereka ke lantai.
Diiringi jingle Hiang, suara Gandang dan Kalumpit, batandik (hentakan kaki) malam itu semakin meriah ketika orang tua, remaja dan anak-anak ikut ambil bagian.
Laki-laki dan perempuan ikut menari mengelilingi Papatangkalak Langgatan. “Ini namanya ritual kesukuan. Selamat menari,” kata Haris.
Babakani berlangsung sekitar lima menit. Setelah itu, hanya Tuit dan balian yang melanjutkan ritual tersebut. Para balian terdengar melantunkan mantra dengan keras.
Singkat cerita, ada berbagai macam ritual pada saat itu. Ada Mangguguhan, Mandewata, Mamutir, dan ditutup dengan Sangkuwanang.
Semuanya melambangkan hal-hal yang berhubungan dengan panen yang melimpah, doa dan harapan.
Hal itu terlihat saat seluruh Balian di bawah komando Tuit mengepung Langgatan Papatangkalak sambil membawa hasil alam. Mulai dari buah-buahan, sayuran, dan nasi yang enak.
“Bagi kami, beras yang enak itu seperti anak kandung yang merantau bertahun-tahun lalu pulang. Kami merindukan kedatangannya, kami peduli padanya, bahkan kami merayakannya,” kata Haris.
Dan sampai saat ini tradisi Bawanang masih lestari di Meratus. (perang/gr/fud)