Festival Kurikulum Merdeka yang diselenggarakan secara daring di feskurmer.kemdikbud.go.idmengumpulkan berbagai praktik Kurikulum Mandiri di berbagai daerah. Pembelajaran yang menyenangkan diupayakan antara lain dengan belajar di sekitar sekolah, pantai, dan kandang sapi.
Pemerintah merancang Kurikulum Merdeka agar pembelajaran di kelas menyenangkan dan bermakna. Dengan kurikulum ini, materi pelajaran dipangkas dan hanya fokus pada materi esensial saja. Materi di kelas juga disesuaikan dengan minat, bakat, dan kebutuhan siswa.
Guru dan sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahan ajar. Mereka bebas berkreasi agar pelajaran yang diajarkan menyenangkan.
Hal ini dilihat sebagai peluang eksploratif bagi guru SDN Butuh 1, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Eka Nurviana Fatmawati. Menurutnya, matematika distigmatisasi sebagai mata pelajaran yang sulit dan gurunya galak.
Istilah belajar juga diartikan secara kaku yaitu siswa harus duduk diam mendengarkan guru di depan kelas. Pelajaran juga berlangsung satu arah. Guru diibaratkan sebagai pihak yang memegang kekuasaan penuh di dalam kelas.
Belajar sambil bermain
Eka mencoba mengikis stigma tersebut dengan mengajak siswa belajar sambil bermain. Dia membawa permainan UNO Stacko dan membuat kartu soal dengan berbagai tingkat kesulitan. Dia juga mengatur misi khusus yang harus diselesaikan oleh siswa bekerja sama.
“Anak SD kelas 1-6 adalah usia bermain. Kegiatan utamanya adalah bermain, jadi kalau dipaksa belajar akan merasa terjajah dan terpenjara,” kata Eka dalam peluncuran Festival Kurikulum Merdeka di Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Ide untuk membuat pelajaran menjadi menyenangkan muncul karena Eka sering bertanya pada dirinya sendiri bagaimana dia akan mengajar besok. Ide juga terkadang muncul secara tiba-tiba. Saat sebuah ide muncul, dia buru-buru menuliskannya di ponsel pintarnya. Ia juga memanfaatkan Platform Merdeka Mengajar sebagai acuan pembuatan modul ajar.
Sebelum mengajar lebih lanjut, Eka terlebih dahulu melakukan penilaian di kelas. Dengan demikian, ia mengetahui kemampuan siswa. Beberapa pertemuan kelas awal juga diisi dengan mengulang pelajaran dari kelas sebelumnya.
Ini terkait dengan kerugian belajar atau hilangnya hasil belajar pada siswa. Kehilangan belajar Hal itu terjadi antara lain karena kurikulum yang tidak fleksibel dan penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19.
Anak sekolah dasar kelas 1-6 berada pada usia bermain. Aktivitas utama mereka adalah bermain sehingga jika dipaksa belajar, mereka akan merasa terjajah dan terpenjara.
“Secara fisik siswa saya kelas 5 SD, tapi secara kognitif sudah terjebak di kelas 3. Jadi, kemampuan mereka setara dengan siswa kelas 3 SD. Dengan Kurikulum Merdeka, dua minggu pertama digunakan untuk fokus membenahi materi dasar,” tambah Eka.
Praktik belajar yang menyenangkan juga terjadi antara lain di Kecamatan Cipicung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Guru TK Islam Terpadu Alfarabi, Cucu Cunayah, misalnya, mengajak siswanya ke kandang sapi untuk belajar tentang lingkungan. Siswa juga diberi kesempatan untuk memerah susu sapi, memberi makan sapi, dan membawa pulang susu yang dihasilkannya.
“Anak-anak mendapatkan pemahaman baru tentang siapa penciptanya, mengembangkan sikap kemandirian, kreativitas, dan berpikir kritis dengan berdiskusi dengan teman sebaya dan guru,” ujarnya melalui catatan di Festival Kurikulum Merdeka. Disinilah peran guru sangat penting untuk membimbing, mengamati, dan menilai kegiatan anak.
Guru SMA Negeri 1 Karangasem, Bali, Ni Wayan Adnyani, juga mengajak siswanya keluar kelas untuk belajar tentang lingkungan. Luasnya halaman sekolah ditambah banyaknya pohon membuat banyak sampah ranting dan daun kering. Siswa kemudian diajari membuat kompos organik, kemudian pupuknya dibagikan ke masyarakat.
Guru SD Negeri 6 Banda Aceh, Mudassir, juga mengajak siswanya keluar kelas untuk belajar tentang kelistrikan. Dengan mengamati gardu terdekat, ia menjelaskan komponen utama gardu dan mekanisme penyaluran listrik ke rumah-rumah penduduk.
Ia juga mengajak siswa untuk bermain peran. Ada mahasiswa yang berpura-pura menjadi petugas di gardu induk, teknisi, dan pengawas. Mereka bertugas menyelesaikan soal kelistrikan dengan materi yang dipelajari tadi.
”Saya menggunakan kisah nyata atau contoh untuk menjelaskan konsep. Saya mencoba menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga mereka dapat melihat relevansi dan manfaatnya,” ujarnya.
Tidak maksimal
Di sisi lain, tidak semua guru memiliki kompetensi untuk mengembangkan Kurikulum Mandiri secara optimal. Menurut Koordinator Nasional Persatuan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, sebagian guru hanya menyalin modul ajar yang tersedia di platform Merdeka Mengajar.
Padahal belum tentu modul ajar tersebut sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di sekolahnya. “Guru kita belum memiliki kompetensi yang optimal untuk mengembangkan kurikulum,” ujarnya.
Kondisi ini terjadi karena guru sudah terbiasa “disuapi” oleh pemerintah pusat selama puluhan tahun. Misalnya KIKD (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar) sudah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka guru tinggal melaksanakannya. Sekarang pemerintah menyiapkan hasil pembelajaran, tetapi gurulah yang menerjemahkannya menjadi tujuan pembelajaran.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Muhammad Nahar mengatakan, sebagian guru memandang perubahan kurikulum sebagai kebijakan politik. Mereka tidak memahami ini sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.