Lembaga Sawit Watch mengkritik rencana pemerintah yang ingin melegalkan atau memutihkan kasus perambahan kebun sawit yang berada di area hutan tanpa menghiraukan aspek pidana. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini seharusnya hanya dikenakan kepada petani kecil, bukan korporasi sawit besar.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyatakan bahwa pemerintah mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang sudah lama terjadi ini.
“Tindakan memilih-milih ini penting. Namun, perusahaan yang mencari untung melalui pelanggaran hukum seharusnya dibedakan,” ungkap Achamd Surambo kepada VOA.
Saat ini terdapat 3,3 juta hektar kebun sawit di Indonesia yang sebenarnya berada di kawasan hutan. Kebun-kebun ini diduga mayoritas dikelola oleh korporasi sawit besar. Namun, membuka kebun sawit di kawasan hutan merupakan pelanggaran hukum. Namun, undang-undang yang baru disahkan pada November 2020, yaitu UU Cipta Kerja, menyatakan bahwa tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif yang hanya dikenai denda, bukan sanksi pidana.
Ketua Tim Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, Luhut Binsar Panjaitan, memastikan bahwa kebijakan ini akan dilakukan, meskipun kasus tersebut terjadi di area hutan.
“Sekarang kita mau lakukan apa, kita tinggal mencabut? Tentu tidak,” kata Luhut menanggapi kebun sawit yang berada di kawasan hutan.
Achmad Surambo mengakui bahwa masalah kebun sawit di kawasan hutan merupakan persoalan lama yang sudah dibahas sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak adanya penyelesaian yang memadai terkait masalah ini karena PP 60/2012 yang dibuat oleh SBY hanya menjadi dasar hukum kebijakan. Regulasi ini mengatur tentang perubahan dan fungsi kawasan hutan.
Namun, saat Jokowi menjadi presiden, regulasi terkait hutan diperbaiki dengan dikeluarkannya PP 104/2015 dan kebijakan moratorium sawit melalui Inpres 8/2018. Melalui UU Cipta Kerja tahun 2020, pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini. Namun, ternyata solusinya hanyalah dengan pemutihan lahan.
Menurut Achmad Surambo, terdapat kasus di Register 40, Kabupaten Padang Lawas, Sumatra Utara yang bisa menjadi contoh untuk menyelesaikan masalah ini. Pada 2007, Mahkamah Agung memutuskan bahwa kebun sawit seluas 47 ribu hektar di hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatra Utara, harus disita oleh negara. Pengelolanya adalah pengusaha Darius Lungguk Sitorus, selaku Direktur Utama PT Torganda. Darius membuka kebun di hutan milik negara.
Achmad juga menyinggung kasus minyak goreng tahun 2022 yang