TEMPO. BERSAMA, Jakarta – Aktivitas tambang ilegal di Kalimantan Timur dengan tokoh sentralnya sekarang, Ismail Bolong, diduga terjadi di banyak daerah. Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, misalnya, mengeluhkan aktivitas pertambangan tanpa izin dan dugaan keterlibatan aparat.
Pengaduan GEMBUK kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ditujukan kepada Bareskrim Polri yang ditembuskan pula kepada Kapolri dan Polda Kalsel. “Karena sampai saat ini belum ada upaya hukum yang maksimal seperti penyusunan laporan atau penetapan tersangka pelaku PETI (penambangan tanpa izin),” ujar Sekretaris GEMBUK, M. Riza Rudy N, dalam keterangan yang diberikan kemarin. Kamis, 8 Desember 2022.
Sebelumnya, GEMBUK antara lain menggelar aksi damai oleh Aliansi Penyelamat Meratus di depan gedung DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah pada 25 Oktober 2022. Saat itu aksi juga disaksikan oleh Bupati dan Sekda setempat.
GEMBUK juga meminta audiensi dengan beberapa kementerian selain Bareskrim Polri. Di antaranya adalah Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Kantor Staf Presiden ( KSP).
Dalam setiap aksi tersebut, serta dalam pengaduan terakhir yang ditujukan kepada Bareskrim Polri, GEMBUK menolak empat tuntutan. Yang pertama tentunya menuntut pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak illegal mining atau penambangan liar yang semakin marak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang diduga melibatkan oknum oknum TNI dan Polri.
Baca juga: Gubernur di Kalimantan Janji Tolak IUP Baru dari Pusat di Wilayahnya
Kedua, pencabutan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Antang Gunung Meratus, khususnya blok konsesi yang terletak di Hulu Sungai Tengah. Ketiga, pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak mafia dan pemodal illegal logging yang diduga juga melibatkan oknum TNI dan Polri.
Keempat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat menghentikan izin baru terkait industri ekstraktif pertambangan batu bara atau perkebunan kelapa sawit skala besar baik di Hulu Sungai Tengah maupun di Kalimantan Selatan.
Ancaman Bencana Banjir di Kalimantan Selatan
GEMBUK merasa perlu membawa kasus ini ke tingkat nasional karena Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu kabupaten yang rawan terhadap bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor. Hulu Sungai Tengah disebut juga Riza, menjadi penyangga pangan ke berbagai provinsi di luar Kalimantan Selatan.
Ancaman bencana ekologi ini, menurut Walhi, bisa tercermin dari banjir kalimantan Selatan pada awal tahun 2021. Dikutip dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merendam hingga 24.379 rumah dan memaksa 39.549 warga mengungsi.
Warga berjalan melewati banjir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Senin 29 November 2021. Hujan dengan intensitas tinggi pada Minggu 28 November menyebabkan pusat kota Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kembali digenangi air dari ketinggian 30 cm. sampai dua meter. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Sebanyak 15 orang terdampak banjir, tiga di antaranya warga Hulu Sungai Tengah. Sedangkan total nilai kerugian akibat banjir yang melanda wilayah Kalsel ditaksir mencapai Rp 1,349 triliun.
Baca juga: Hujan Ekstrem atau Rusaknya Hutan Menyebabkan Banjir Kalimantan?
Pengaduan tersebut juga mengikuti Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Hulu Sungai Tengah nomor 16 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2005-2025. Di sana ditegaskan bahwa 13 kabupaten dan kota di Hulu Sungai Tengah menolak eksploitasi industri ekstraktif skala besar seperti tambang batu bara dan kelapa sawit.
“Perda Kabupaten Hulu Sungai Tengah nomor 6 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2021-2026 juga menekankan hal yang sama mengenai pembangunan berkelanjutan,” ujar Riza.
Manajer Kampanye Pertambangan dan Energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore mengatakan, ada beberapa hal yang membuat situasi yang dialami di Sungai Tengah Hulu terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Salah satunya, menurut Fanny, bobroknya sistem dan budaya hukum yang masih belum jelas dan tegas.
“Kebijakan pemerintah daerah yang baik bisa saja tumpang tindih atau diabaikan, bahkan cenderung terlindas oleh kebijakan pusat,” katanya seraya menambahkan bahwa desentralisasi penting untuk terlaksananya kebijakan yang diinginkan oleh masyarakat di daerah sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya. kapasitas.
ZAHRANI JATI HIDAYAH
Selalu update info terbaru. Mendengarkan berita terkini dan berita pilihan dari tempo.co di saluran Telegram “Pembaruan Tempo.co”. Klik gabung. kamu butuhInstall aplikasi Telegram terlebih dahulu.