Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang hari ini mengukuhkan Prof. Dr. Imam Yahya, M.Ag sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Fikih. Prof Imam Yahya menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Fiqh Digital: Implementasi Digitalisasi Agama dalam Fiqh Kontemporer”.
Banyak hal terkait digitalisasi keagamaan yang diulas, termasuk tentang hukum Jumat virtual dan Haji Metaverse.
Pengukuhan Guru Besarn ini berlangsung di Gedung Tgk. Ismail Yaqub Auditorium 2 Kampus 3 UIN Walisongo Semarang. Sidang senat terbuka dipimpin oleh Rektor UIN Walisongo Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag. Tampak hadir, keluarga, kolega, guru besar dari sejumlah Universitas, sejumlah tokoh agama, antara lain: K.H. Ali Muhlis, K.H. Ahmad Daroji, K.H. Ubaidillah Shodaqoh PWNU Jawa Tengah, Baznaz Indonesia, Ketua Kalam UIN Walisongo Lukman Hakim, serta beberapa Masayikh dan Kiai.
“Digitalisasi agama juga dapat memberikan banyak manfaat, seperti memudahkan akses informasi keagamaan, memfasilitasi komunikasi dan interaksi antara umat Islam dari berbagai negara dan budaya, serta membantu mempercepat penyebaran dakwah dan pengajaran agama. Komunikasi antar masyarakat yang semula bersifat komunal, sekarang ini berubah menjadi pola komunikasi online, di mana antar individu bisa menjalin komuniksi intensif tanpa melakukan pertemuan langsung,” ungkap Prof Imam Yahya dalam orasi ilmiahnya di Semarang, Senin (13/3/2023).
Imam Yahya mengakui bahwa digitalisasi juga bisa menimbulkan konfilk karena penyebaran hoak. Namun, transformasi di bidang keagamaan menjadikan aktivitas keagamaan lebih efisien dan efektif. Hal ini bisa dilihat antara lain dari maraknya kajian keagamaan dan ritual keagamaan secara online di tengah masyarakat muslim. Kajian agama virtual, doa bersama virtual, tahlil virtual, bahkan salat jumat virtual menjadi alternatif dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan selama masa pandemi.
Terkait salat jumat virtual, Prof Imam menghadirkan pro kontra pakar Fiqih. Syekh al Ghumari misalnya, disebut sebagai pihak yang membenarkan salat jum’at virtual dan menghukumi sah serta mempu menggugurkan kewajiban shalat jumat yang dilakukan pada semsetinya. Adapun pihak kontra disampaikan oleh Dr. Abdullah Sa’id Waisi bahwa terdapat mudarat dari penyelengaran ibadah shalat jum’at secara virtual online. NU dan Muhammadiyah juga tidak sepakat dengan digitalisasi agama secara general. Bagi NU dan Muhammadiyah melalui Bahtsul Masail dan Majelis Tarjih, ibadah mahdhoh tidak bisa diganggu gugat, sedangkan ibadah berdimensi muamalah bisa dilakukan melalui platform digital.
“Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh latar belakang yang berbeda. Kelompok pendukung seperti Akmaliyah dan Burhani, secara realitas di negara barat yang lebih mengedepankan semangat rasionaitas. Sedangkan para ulama NU dan Muhammadiyah, dalam realitas masyarakat Indonesia yang sangat hati hati dalam merepon perkembangan zaman,” paparnya.
Berkenaan dengan Haji Metaverse, Prof Imam mengatakan bahwa konsep ini memungkinkan orang yang tidak dapat melaksanakan ibadah haji secara fisik karena keterbatasan fisik atau masalah keuangan, dapat melaksanakan ibadah haji secara virtual. Namun, penting untuk diingat bahwa pengalaman dalam Haji Metaverse tidak dapat menggantikan nilai spiritual yang sebenarnya dalam melaksanakan ibadah haji secara fisik. Konsep Haji Metaverse juga harus mempertimbangkan masalah teknis dan regulasi yang berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam ibadah.
Gagasan keterlibatan digital dalam proses ibadah haji, kata Imam, tidak dapat menempati posisi ibadah haji pada semestinya. Namun, dalam kondisi tertentu semisal untuk ibadah haji yang dibadalkan karna udzur, maka orang yang membadalkan dapat menggunakan konsep haji Metaverse sebagai sarana untuk dapat mengikuti dan merasakan serta menghayati proses ibadah haji yang dibadalkan kepada orang lain.
“Selain itu konsep haji metaverse dapat digunakan sebagai sarana simulasi manasik haji kepada para calon jamaah ibadah haji dan umrah,” tandasnya.
Prof Imam Yahya dalam orasinya juga mengulas kontroversi digitalisasi agama yang menurutnya membawa tiga ancaman terhadap eksistensi agama. Pertama, agama akan kehilangan otentisitasnya manakala sumber-sumber ajaran Islam dimediakan dalam bentuk digital. Kedua, ulama atau kyai klasik yang mengajarkan agama secara manual, akan tertinggalkan oleh hingar bingar ustadz-ustadz milenial, karena kaum muslim lebih mengenal tokoh agama yang berbasis media digital. Ketiga, melalui digitalisasi agama, nilai-nilai sakralitas agama akan tergantikan dengan realitas media.
Rektor UIN Walisongo Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag menyampaikan bahwa Profesor Imam Yahya adalah sosok yang penuh cinta kasih, murah senyum, dan sikapnya menyenangkan. Kontribusinya di UIN Walisongo luar biasa. Prof Imam Yahya adalah Dekan dengan masa jabatan dan pengalaman paling banyak.
Prof Imam Yahya tercatat pernah menjadi Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang (2010-2013), Dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Walisongo Semarang (2014-2015), Dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang (2015-2019) dan Direktur Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo sampai sekarang.
“Kita meneguhkan bibit keunggulan, cendekiawan yang ulung dan memberikan gagasan yang jernih. Ketika semua online dan digital termasuk dalam putusan agama. Sholat online, Akad nikah online dan haji metaverse. Beliau memberikan gambaran, religion online itu dilakukan karena bagian dari respon kita di dunia digital. UIN Walisongo ingin memberikan Khidmah yg terbaik ditengah dies natalis ,“ pungkasnya.