Perlawanan yang paling fenomenal di Banten pada masa penjajahan ialah peristiwa Geger Cilegon, 9-30 Juli 1888. Kejadian tersebut diulas oleh Prof Sartono Kartodirdjo melalui disertasinya, “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888”. Guru besar Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, dasawarsa terjadinya Geger Cilegon 1888 adalah permulaan Pax Neerlandica. Beleid itu diinisiasi kalangan politikus Belanda yang pro-kebijakan asosiasi.
Dengan mendukung kebijakan yang dimaksud, mereka ingin agar kebudayaan Belanda dan Pribumi dapat berbaur di bawah bendera Kerajaan Negeri Belanda. Lama kelamaan, pemerintah kolonial semakin leluasa mengeluarkan peraturan-peraturan yang kian meruntuhkan tatanan tradisional lokal. Maka dari itu, merespons Pax Neerlandica, terdapat gejolak arus bawah yang terus gelisah, mengharapkan perubahan, dan menanti-nantikan datangnya keadilan.
Berbeda dengan kalangan elite, alim ulama dan kaum sufi Muslim selalu hadir untuk menjadi tempat rakyat mengadukan keluh-kesah. Azyumardi Azra menuturkan, tarekat sejak abad ke-12 di Jawa menyediakan kerangka organisasi yang cukup solid bagi munculnya gerakan sosial. Pada akhirnya, para salik berdaya dalam memobilisasi massa.
Nina Herlina Lubis dalam bukunya, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, memaparkan, peran empat tokoh guru tarekat yang ikut memelopori Geger Cilegon 1888. Mereka adalah Haji Abdul Karim alias Kiai Agung, Haji Marjuki, Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail.
Kiai Agung menganut tarekat Qadiriyah. Dia tergolong kaya raya, sehingga mampu membiayai sendiri perjalanannya keliling Banten guna memperkenalkan tarekat tersebut. Pejabat-pejabat setempat amat segan kepadanya karena tokoh asal Lampuyang itu populer di tengah rakyat. Di antara murid-muridnya adalah, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, dan Haji Sanadeli dari Kaloran.
Sementara itu, Haji Marjuki merupakan tokoh asal Tanara—kampung halaman Syekh Nawawi al-Bantani. Usai melaksanakan ibadah haji, dia sempat berkeliling Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk menyebarkan ajakan jihad melawan Belanda kepada masyarakat setempat. Bersama dengan Haji Wasid, dia berjasa dalam membangkitkan kesadaran perlawanan dari diri kolektif penduduk Muslim Jawa bagian barat.
Haji Wasid berasal dari keluarga pejuang yang membenci campur-tangan Belanda di Banten. Pada 1850, ayah kandungnya, Abas, bergabung dalam gerakan perlawanan Haji Wakhia alias Perang Gudang Batu di Serang. Saat Geger Cilegon terjadi pada 1888, usia mubaligh yang lahir di Grogol itu belum terlalu tua—sekira 45 tahun. Cakupan daerah perjuangannya bahkan mencapai Bandung dan Cirebon.
Haji Tubagus Ismail tergolong dari kalangan berada. Lebih dari sekali dia melakukan ibadah haji. Sempat pula mendirikan beberapa madrasah di daerah tempat tinggalnya, Gulacir, sebagai jalan memasyarakatkan tarekat Qadiriyah. Di kalangan kiai Banten, namanya cukup disegani. Oleh karena itu, ajakannya untuk menentang pemerintah kolonial yang kafir mendapat sambutan luas.
Tahap perencanaan
Kartodirdjo menceritakan, sejak 1884 para tokoh di Banten sudah menggagas perlawanan terhadap Belanda. Pertemuan demi pertemuan diadakan di kediaman Haji Wasid di Beji untuk merekrut pengikut rencana ini dari kalangan murid-murid. Pelbagai majelis tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah digunakan sebagai ajang komunikasi untuk mematangkan rencana tersebut.
Sebenarnya, aparat pemerintah kolonial sudah khawatir akan isu-isu yang berkembang, apalagi setelah mencium gelagat ketidakpuasan dari kalangan agamawan Muslim. Namun, para pejabat lokal yang bersimpati pada Belanda berupaya menampik kemungkinan adanya perlawanan bersenjata. Penguasa-penguasa lokal itu, misalnya, menyebutkan wajar saja rakyat bersemangat memenuhi masjid-masjid yang baru dipugar atau dibangun.
Akan tetapi, yang tidak mereka sadari adalah motif di balik majelis-majelis zikir, shalawatan, atau bahkan pesta-pesta pernikahan dan khitanan yang digelar penduduk Banten. Di dalamnya kerap kali terjadi pertemuan intens antartokoh tarekat dan mubaligh yang berpengaruh untuk memperjuangkan gerakan anti-Belanda.
Maka, dalam empat bulan terakhir menjelang tutup tahun 1887, kegiatan anggota-anggota tarekat semakin meningkat. Mereka aktif menggelar pertemuan-pertemuan tertutup dan berkeliling wilayah-wilayah di Banten untuk menggalang dukungan dari penduduk setempat.
Pada 2-5 September 1887, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid serta beberapa tokoh lainnya bertemu untuk membahas perkembangan terkini rencana jihad. Hadirin berasal dari pelbagai daerah, seperti Tangerang, Batavia, Bogor, Priangan, dan bahkan Ponorogo. Pertemuan ini berlangsung secara tertutup dengan kamuflase acara pesta perkawinan yang dihelat keluarga Haji Tubagus Umar.
Salah satu kesimpulan rapat rahasia ini adalah, tempat dan tanggal dimulainya perlawanan harus tetap samar-samar dari pengawasan intel kepolisian Belanda.
Pada 29 September di tahun yang sama, rapat berikutnya dilangsungkan para kiai Banten di Beji untuk membahas pengumpulan senjata. Para peserta menyamar seolah-olah tamu yang hendak silaturahim ke kediaman Haji Wasid.
Pada pertengahan tahun 1888, segala persiapan berjalan nyaris sempurna. Akan tetapi, penentuan kapan dimulainya perlawanan ternyata menimbulkan ketidaksepahaman.
Haji Marjuki mendesak agar gerakan ini dimulai sebelum bulan Sura alias September 1888. Sementara itu, Haji Wasid berusaha meyakinkan sahabat-sahabatnya agar mendukung dimulainya gerakan yang sama pada pertengahan bulan Haji Besar, yakni 23 Agustus 1888. Sebagian besar massa pendukung lebih condong pada rencana Haji Wasid.
Namun, aksi diadakan justru lebih dini dari keinginannya semula karena para pengikut Haji Tubagus Ismail sudah terlebih dahulu bergerak.
Oleh karena itu, secara keseluruhan penggerak perlawanan atau Geger Cilegon adalah dua tokoh tersebut.
Jalannya peristiwa
Cilegon akan dimasuki dari dua jurusan oleh massa yang berbeda-beda. Haji Wasid bersama para pengikutnya akan memasuki kota itu dari arah utara, sedangkan Haji Tubagus Ismail dari selatan.
Begitu kedua gelombang sudah berada di Cilegon, persebarannya diatur lebih perinci. Haji Wasid dan pasukannya akan menyasar seluruh orang Eropa.
Kelompok Haji Abdul Gani dan Haji Usman mengarah ke alun-alun di Cilegon selatan, untuk kemudian menyerbu rumah Patih Penna—penguasa lokal yang bersekongkol dengan Belanda.
Kelompok pimpinan Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman bergerak ke arah Cilegon barat untuk menyerang rumah Asisten Residen, Johan Hendrik Hubert Gubbels. Adapun kelompok berikutnya yang dikomandoi Jaro Kejuruan mengepung penjara dan berusaha membebaskan semua tahanan setempat. Seluruh strategi ini akan mulai dilaksanakan pada dini hari Senin, 9 Juli 1888.
Kubu yang digerakkan Haji Tubagus Ismail berhasil melukai Henri Francois Dumas, seorang juru tulis kantor asisten residen, yang lantas nyawanya tak tertolong lagi. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa pada hari itu Gubbels sedang melakukan perjalanan dinas di Anyer. Patih Penna juga tidak ada di kediamannya karena sedang cuti di Serang. Maka, hanya operasi penyerbuan penjara yang cukup berhasil dilaksanakan.
Keesokan harinya Gubbels tiba di Cilegon dan mendapati rumahnya porak-poranda. Awalnya, asisten residen ini dapat melarikan diri, tetapi kemudian tertangkap massa. Dia pun digiring ke alun-alun untuk kemudian dieksekusi, dan mayatnya digantung. Adapun istri dan anaknya yang sempat bersembunyi di kantor sipir penjara Cilegon lebih dahulu tewas. Massa juga menyerbu gudang garam Cilegon dan membunuh pejabat di sana.
Untuk sementara, para pelaku gerakan ini mengira kemenangan sudah dalam genggaman. Akan tetapi, aroma kemenangan yang ada tidak bertahan lama.
Kabar kerusuhan di Cilegon sampai di Serang. Pasukan Hindia Belanda segera bergerak menuju kota itu di bawah komando Letnan Satu van de Star. Dalam perjalanan, terjadi kontak senjata pertama antara massa dan pasukan kolonial. Massa akhirnya kalah, sehingga Star terus memimpin pasukannya merangsek masuk Cilegon.
Begitu mendengar kabar ini, Haji Wasid dan pengikutnya tidak mengadakan perlawanan, tetapi justru meninggalkan kota tersebut. Jadilah Belanda kembali menguasai Cilegon tanpa konflik yang berarti.
Markas Belanda berdiri di atas reruntuhan penjara Cilegon. Pada 11 Juli 1888, aparat kepolisian kolonial menyebarkan pos-pos penjagaan untuk mempersempit ruang gerak para pejuang.