Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyatakan, penyebab Beruang Madu masuk ke pemukiman Desa Teluk Haur dan Desa Batalas, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan karena habitatnya tergerus perkebunan sawit perusahaan.
“Ekspansi kelapa sawit yang masif menjadi salah satu penyebab berkurangnya habitat beruang madu,” kata Kepala Resor Banua Anam, BKSDA Kalsel, Suhendra, saat dikonfirmasi ANTARA di Rantau, Senin.
Berbicara tentang habitat, kemudian juga mempertanyakan kebutuhan akan makanan. Seiring berjalannya waktu, ekspansi sawit ini, kata Suhendra, membuat beruang madu kelaparan sehingga masuk ke pemukiman.
“Beruang Madu masuk ke pemukiman karena habitatnya berkurang dan sumber makanan juga berkurang,” katanya.
Menurut Suhendra, keberadaan Beruang Madu di dataran rendah Kabupaten Candi Laras Utara baru diketahui BKSDA Kalsel setelah hebohnya kemunculan hewan liar tersebut di pemukiman penduduk.
“BKSDA mengetahui setelah ada laporan dari masyarakat terkait konflik satwa,” ujarnya
Puluhan tahun lalu, warga mengingat sebelum perluasan perkebunan kelapa sawit menempati wilayah desa, kawasan hutan masih luas dan vegetasi rapat dipenuhi berbagai pohon dan menjadi habitat beruang serta hewan liar lainnya, seperti macan dahan, trenggiling. untuk bekantan.
“Padahal pohon suka Polandiadulu masih banyak,” kata tokoh masyarakat Desa Teluk Haur Haji Nurhan (70).
Senada dengan BKSDA Kalsel, Nurhan yang sudah lama tinggal dan menetap di Desa Teluk Haur juga mengatakan bahwa alih fungsi lahan menjadi penyebab munculnya Beruang Madu di pemukiman.
Jefry Raharja, Manajer advokasi dan kampanye Walhi Kalsel mengatakan, keberadaan perkebunan sawit sangat mungkin menjadi faktor utama permasalahan antara manusia dan beruang di Tapin.
“Di Tapin sendiri, seperti yang terjadi di Desa Batalas, Desa Buas-buas, Desa Sawaja, Desa Teluk Haur dan desa-desa lain di sekitar atau di dalam wilayah Kecamatan Laras Candi Utara, telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit skala besar,” ujarnya. .
Walhi mengamati, pada tahun 2012, dari citra satelit, kawasan tersebut masih rimbun dengan vegetasi, kini telah tergantikan dengan perkebunan kelapa sawit.
Pengalaman Walhi dalam melakukan pemantauan di tahun 2019 terkait dengan restorasi gambut di lahan konsesi. Jefry melanjutkan, selain menimbulkan masalah bagi habitat satwa liar yang dilindungi yang sedang dihebohkan saat ini, ekspansi sawit ini juga bermasalah dengan manusia di areal konsesi perusahaan sawit.
“Dulu warga sempat menolak kehadiran perkebunan sawit skala besar, namun potensi konflik yang tinggi, sebagian warga yang masih menolak terpaksa menyerah pada perluasan sawit,” ujarnya.
Catatan Jefry kepada para pihak, tata kelola perusahaan harus didorong untuk dievaluasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan.
“Seharusnya juga tidak ada izin baru dengan adanya moratorium gambut berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut,” ujarnya.