Nama H Muhammad Qurthubi bin Khalid sangat familiar di Bumi Tambun Bungai. Ulama kharismatik ini lahir di Desa Panyiuran, Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sang guru tak kenal lelah berdakwah dan menyebarkan tarekat Junaidiyah ke Kalimantan Tengah (Kalimantan Tengah).
MUHAMMAD Qurthubi bin Khalid lahir pada tahun 1927 di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Nama ayahnya adalah Khalid dan nama ibunya adalah Naluh. Guru Qurthubi menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya. Qurtubi kecil dibimbing oleh orang tua dan gurunya.
Tak heran pada usia 10 tahun ia sudah bisa membaca Alquran dengan baik dan mengajarkannya kepada teman-temannya.
Memasuki usia 12 tahun, Qurthubi mulai mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fi qih dan nahwu shorof di bawah bimbingan Tuan Guru Abdul Hamid.
Oleh gurunya, Qurthubi kemudian diserahkan kepada ulama lain di desanya, Tuan Guru Asmaran, untuk melengkapi ilmu agamanya seperti balaghah, mantiq, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits.
Puncak perjalanan intelektualnya ketika berguru kepada guru H Kaspul Anwar Firdaus, khalifah Tarekat Junaidiyah. Pada tahun 1960, Qurthubi berbai’at kepada Tarekat Junaidiyah untuk pertama kalinya. Saat itu dia berusia 29 tahun. Tidak lama setelah Bai’at, Qurthubi menerima bimbingan ilmu/amaliah tariqah al-üla dan menjalani riyadlah as-sughrá (rabithah, murâqabah, dan musyahadah) selama delapan tahun (hingga usia 37 tahun).
Pada tahun yang sama, Ayah Qurthubi –panggilan santri HM Qurthubi– menjalani pembinaan tahap berikutnya selama tiga tahun, yakni tarekat al-wushthâ dengan maqam riyâdlah al-kubrä (muqabalah dan mukâfahah).
Genap 40 tahun, ayah Qurthubi memasuki tahap akhir pembinaan di Tarekat Junaidiyah, yaitu martabah tariqah al-qushwa dengan maqam riyadlah al-ghâyah.
Rangkaian riyadlah yang dijalaninya selama kurun waktu kurang lebih sebelas tahun itu selesai pada hari Kamis pukul 17.00 WITA, akhir bulan Muharram 1395 Hijriah.
Dengan demikian Ayah Qurthubi menerima pelimpahan tugas sebagai khalifah Tarekat Junaidiyah. Keesokan harinya atau 14 Februari 1975 atau 1 Safar 1395, Guru Kaspul menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 62 tahun dan dimakamkan di kampung halamannya, Desa Banua Hanyar.
Setelah pimpinan Tarekat Junaidiyah berada di tangan Ayah Qurthubi, pusat kegiatan dipindahkan ke kampung halamannya, Desa Cempaka, Kecamatan Hulu Sungai Utara.
Saat itu Tarekat Junaidiyah sedang berkembang pesat. Siswa datang dari berbagai daerah. Tidak hanya dari wilayah Kecamatan Amuntai, tapi juga dari berbagai pelosok Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kota Banjarmasin, hingga Kalimantan Tengah.
Seiring dengan kemajuan, rintangan selalu mengiringi perjuangan dakwah Tarekat Junaidiyah. Baik dari luar maupun dari dalam Tarekat Junaidiyah. Baik mengenai kegiatan dakwah maupun rumah tangga terkait.
Pada 1989, misalnya, keluar SK MUI Daerah Hulu Sungai Utara yang menyatakan Tarekat Junaidiyah sesat.
Ayah Qurthubi menjadi tahanan rumah selama 12 hari karena dicurigai melakukan kegiatan yang mencurigakan.
Namun, satu persatu kendala tersebut dapat diatasi.
Tarekat Junaidiyah menyebar dengan cepat di Kalimantan Selatan, daerah lain di Kalimantan, bahkan sampai ke Jawa. Keberadaan tarekat Junaidiyah semakin dikenal sebagaimana tarekat-tarekat lain yang lebih dulu ada di Kalimantan Selatan, seperti Qadiriyah, Nasyabandiyah, Sadziliyah, dan Sammaniyah.
Kepindahan seorang guru Tarekat Junaidiyah ke Kota Palangka Raya bukan tanpa alasan. Ini dilakukan atas permintaan murid-muridnya setelah guru Mukhtar meninggal.
Murid guru Mukhtar mengatakan ingin HM Qurthubi ke Kota Indah –julukan Palangka Raya– untuk mengembangkan ilmu agar tidak tersesat.
“Permohonan ini sangat diharapkan oleh mahasiswa di Kota Palangka Raya, untuk meminta petunjuk, awalnya dilakukan sebulan sekali, kemudian tiga bulan sekali, sampai merasa lelah, lalu berdoa dan berdoa istikarah, memantapkan hati untuk pindah ke Palangka Raya. Raya,” ujar Norjanah, mantan istri Qurthubi saat diwawancarai pertengahan Maret lalu.
Qurtubi melakukan hijrah pada tahun 1997. Dalam munajatnya, ia mendapat petunjuk dari Allah SWT dengan Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 97; “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa berhijrah di bumi itu?”. Dalam konteks inilah Nabi mengalami masa-masa sulit dalam berdakwah sehingga harus hijrah ke Madinah yang kala itu dikenal sebagai Kota Yatsrib. Karena itulah Qurthubi membulatkan tekad untuk berhijrah.
Dikutip dari Kitab Tarekat Junaidiyah yang ditulis oleh Cecep Zakarias El Bilad, ia mengatakan sebelum hijrah ke Kota Palangka Raya, di kampung halamannya sendiri, Qurthubi menghadapi berbagai kendala dalam berdakwah. Setiap hari rintangan semakin besar dan tak terbendung, padahal di sisi lain jumlah santri terus bertambah. Puncak hambatan dakwahnya adalah ketika beliau berusia 70 tahun (tahun 1997).
Bahtera rumah tangganya (bersama istri pertamanya) hancur karena dihantam badai fitnah dari keluarga besar dan dari pihak luar.
Saat krisis memuncak, Qurthubi memutuskan untuk berhijrah demi menjaga keharmonisan keluarganya dan juga demi kemajuan Tarekat Junaidiyah. Setelah mempertimbangkan berbagai pilihan, ia memilih Palangka Raya sebagai tujuan migrasinya.
Apalagi jumlah pelajar di kota ini cukup banyak.
Dalam perjalanan inilah ayah mengutus muridnya untuk mengirim surat kepada Norjanah.
Surat itu berisi permintaannya kepada seorang wanita yang saat itu berusia 40 tahun, untuk menemaninya berdakwah di Palangka Raya.
Akhirnya keduanya menikah saat singgah di rumah muridnya di Banjarmasin. Wanita yang dinikahinya adalah seorang janda.
Mengetahui sang guru sudah berada di Palangka Raya, murid-muridnya tak henti-hentinya datang. Ayah Qurthubi tinggal di Jalan Rajawali, tempat tinggal cucu keponakannya.
Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya ia membeli rumah di Jalan Mendawai IV. Di sanalah dia dan istrinya membina murid-murid. Hingga kini rumah tersebut menjadi pusat kegiatan dan penyebaran Tarekat Junaidiyah.
Ia melantik sejumlah badal (penerus) di Palangka Raya dan sekitarnya. Hingga akhir hayatnya, Ayah Qurthubi memiliki 9 badal, yaitu Guru Tamidzi (wafat), M Syibli Sabari (wafat), Ust Suryani (wafat), Madian Asih (wafat), Kursani (wafat), Muhammad Ridwan, Suhardi, Abdul Fatah, dan Saleh.
Pada tahun 2000, ayah saya dan rombongan menghadiri Konferensi Jatman IX di Pekalongan. Jatman adalah singkatan dari Jam’iyyah Ahl al-arqah al-Mu’tabarah al-Nahiyyah, atau disingkat JATMAN, organisasi keagamaan Indonesia yang anggotanya fokus pada pelaksanaan ajaran tarekat. Organisasi ini didirikan di Tegalrejo Kabupaten Magelang pada tanggal 10 Oktober 1957 oleh sejumlah kiai tarekat senior yang semuanya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, dengan tujuan menyatukan seluruh al-arqah al-Mu’tabarah agar mengutamakan kepentingan umum. minat.
“Muktamar tersebut merupakan momen bersejarah bagi Tarekat Junaidiyah, karena salah satu hasilnya Tarekat Junaidiyah ditetapkan sebagai tarekat mu’tabarah (thariqah yang memiliki sanad (rantai) yang tidak terputus atau bersambung ke Nabi Muhammad SAW, dan karena itu berlaku untuk praktek). Kongres juga menetapkan Ayah Qurthubi sebagai Mustafad Idarah ‘Aliyah periode 2000-2005,” kata Norjanah.
Mustafad Idara ‘Aliyah adalah seseorang yang dipilih untuk mengawasi berbagai tarekat yang ada agar tidak salah jalan. Hanya ada sembilan mustafad terpilih dari seluruh Indonesia yang dipimpin oleh Habib Lutfi.
Sejak diangkat sebagai mu’tabarah tahun 2000, dan ayah saya diangkat sebagai Mustafad Idarah Aliyah periode 2000-2005, Tarekat Junaidiyah mulai aktif dalam acara-acara Jatman.
Pada tahun 2002, ayah saya dijadwalkan berangkat ke Konferensi Jatman Kubra di Bandung, tepatnya pada tanggal 17 Juli.
Sehari sebelumnya, sejumlah mahasiswa dan pengurus berkumpul di rumahnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pemberangkatan keesokan harinya.
Saat berbicara, Ayah berkata; “Hari ini saya tidak akan lagi membahas topik seputar ilmu syariah, hari ini saya ingin secara khusus membahas tentang ma’rifat, karena ma’rifat akan menyelamatkan kita masing-masing, baik dunia maupun akhirat,” ujarnya.
Setelah beberapa saat berbicara, suara Ayah tiba-tiba berubah. Lebih lambat dan buram. Dia perlahan menundukkan kepalanya, tetapi terus berbicara.
“Suaranya semakin mengecil dan serak. Saya dan murid-murid saya bingung.
Mereka bergegas menangkap tubuhnya dan membaringkannya.
Dokter menelepon untuk memeriksanya, ”kata Norjanah.
Ada yang tidak beres saat dokter datang. Melihat kondisi ayahnya yang lemah, dokter berniat memberikannya infus. Beberapa kali dokter mencoba menyuntikkan jarum infus, namun selalu gagal. Jarumnya tidak bisa menembus kulit Ayah. Dokter juga mencoba pada kaki. Itu juga tidak berhasil.
Akhirnya keluarga tersebut memutuskan untuk menghentikan bisnis medis tersebut. Keluarga melihat ini sebagai tanda bahwa ayah saya telah berhenti berobat. Terus berbaring dan tutup mata tanpa sadar.
Berita tentang kondisi Ayah segera menyebar. Hari itu juga para mahasiswa datang dari seluruh Kalimantan. Tiga hari kemudian, ayah saya menghembuskan nafas terakhirnya, Selasa (16/7/2002) 6 Jumadil Awal 1423 H, sekitar pukul 03.00 WIB.
Sebelum ayah Qurthubi meninggal, ia berpesan kepada murid terdekatnya, Agus Bambang Sutadi, untuk menjaga Umi Norjanah, sekaligus mengelola markas dan membimbing tarekat Junaidiyah. Sepeninggal ayah Qurthubi, AB Sutadi (biasa dipanggil Abi Agus) menikah dengan Umi Norjanah. Hingga saat ini keduanya menjaga, merawat, dan membina Tarekat Jemaat Junaidiyah di Palangka Raya.