Liputan6.com, Banjarmasin – Kuda Gipang merupakan tarian tradisional masyarakat Kabupaten Banjar. Tarian ini hidup dan berkembang di Desa Pangabuan yang saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Dari desa itulah tari kuda gipang kemudian berkembang ke Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu ke desa Bihara, Paringin, dan Amuntai. Mengutip dari heritageculture.kemdikbud.go.idDahulu, tarian kuda Gipang merupakan tarian berbaris.
Barisan tari dapat dilihat dari gerak tarinya yaitu empat langkah (langkah) maju dan mundur, kiri dan kanan, membuat posisi saling berhadapan, membuat posisi membelakangi, dan membentuk lingkaran. Untuk pakaian yang digunakan para penari memakai celana panjang dengan pita, baju lengan panjang, selempang selempang, dan memakai sepatu dengan kaos kaki setinggi lutut.
Konon, tari kuda gipang berasal dari zaman Lambung Mangkurat yang berlayar ke Jawa. Saat itu, Lambung Mangkurat bertemu dengan Raja Majapahit di atas kapal Prabayaksa.
Ia kemudian bertemu dengan Gajah Mada yang membawanya menemui Raja Majapahit. Setelah satu minggu di Majapahit, Lambung Mangkurat berpamitan untuk kembali ke negeri Dipa.
Sesampainya di rumah, ia diberi hadiah berupa kuda besar terbaik di Kerajaan Majapahit. Kuda itu putih dan gagah.
Untuk mengetahui kehebatan kuda tersebut, Tumenggung Tatah Jiwa menyarankan agar ia menaiki kuda pemberian Raja Majapahit tersebut. Namun, setelah tiga kali mencoba menaiki kuda tersebut sebelum menaiki kapal Prabayaksa, kuda tersebut lumpuh.
Kemudian, Lambung Mangkurat menggunakan kesaktiannya dengan memeluk kuda tersebut di bawah ketiaknya dan membawanya naik kapal Prabayaksa menuju Banjar. Sejak saat itu, tarian kuda gipang memiliki gerakan yang menjepit milik kuda di ketiaknya.
Sekilas tarian kuda gipang memiliki kemiripan dengan salah satu permainan yang ada di pulau jawa yaitu kuda lumping. Perbedaannya terletak pada peralatan yang digunakan, pakaian, hingga musik pengiringnya.
Jika diperhatikan, sifat kedua tarian yang dibuat menyerupai kuda ini juga memiliki perbedaan. Kuda Gipang tidak memiliki lekukan yang dalam, sedangkan kuda lumping memiliki lekukan yang lebih dalam.
Selain itu, cara penggunaannya juga sangat berbeda. Kuda lumping dimainkan dengan cara ditunggangi, sedangkan kuda gipang hanya dijepit di ketiak penarinya.
Mengenai musik pengiringnya, kuda gipang selalu diiringi oleh musik gamelan Banjar sambil mengenakan pakaian spangle. Dari segi penampilan, kuda lumping lebih identik dengan unsur sakti, sehingga para penarinya pun terlihat gagah dan berwibawa seolah menggambarkan situasi tarian perang, pengiring dan pengawal raja.
Pengarang: Resla Aknaita Chak