Diperbarui: 10 Maret 2023 10:06
Kompasiana adalah platform blogging. Konten ini adalah tanggung jawab blogger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Sumber Universitas KITLV Leiden
Oleh : Rendra, S.Kom
Model kolonialisme yang dijalankan Belanda menjelang abad ke-20 mengalami perubahan yang menarik. Setelah dilantiknya Ratu Wilhelmina sebagai Penguasa Kerajaan Belanda, beliau menjalankan kebijakan politik remunerasi yang mengutamakan tanggung jawab moral kepada penduduk pribumi di Hindia Belanda (Indonesia). Kebijakan ini kita kenal dengan istilah “Politik Etis” yang kita kenal dengan program-programnya: Pendidikan, Irigasi dan Keimigrasian.
Kebijakan Politik Etis dan dampak revolusi industri mendorong perubahan di berbagai sektor termasuk bidang ekonomi selain itu pola pemerintahan yang berubah total di Kalimantan Selatan pasca penghapusan Kesultanan Banjar pada tahun 1860 membawa Kalimantan Selatan menjadi daerah yang sama sekali baru di tatanan birokrasi dan tatanan sosial-kemasyarakatan. .
Dalam konteks ini, bagaimana masyarakat Kalsel, khususnya masyarakat hulu sungai menyikapi dinamika perubahan yang terjadi.
Banjar Hulu (Hulu Sungai) mengacu pada komunitas sub-etnis Banjar Pahuluan dan Banjar Batang Banyu yang mendiami hulu Sungai Bahan (Sungai Nagara). Mereka merupakan keturunan penduduk suatu daerah purbakala di Kalimantan Selatan. Wilayah mereka sangat subur dan kaya akan komoditas alam bernilai tinggi. Selain itu, kawasan Hulu Sungai merupakan kawasan yang strategis, yaitu pertemuan kawasan pedalaman Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Masyarakat Hulu Sungai dikenal dengan ketangguhannya, mereka adalah penggerak dibalik “Perang Banjar” yang menghancurkan pada periode 1859-1865. Mereka juga berperan besar dalam memimpin “pemberontakan” (bersama keturunan Pangeran Antasari) melawan tentara kolonial Belanda di pedalaman “Barito Hulu”. Pemerintah kolonial berusaha meminimalisir konflik yang berlarut-larut terhadap mereka, konflik yang tidak berkesudahan hanya menimbulkan kerugian yang sangat besar dan biaya perang juga tidak murah.
Namun, pernah terjadi tragedi berdarah yang ditandai dengan konflik agraria yang berawal dari ketidakpuasan terhadap sistem pengupahan pembuatan saluran irigasi dan berawal dari perasaan dilecehkan dengan sistem kerja paksa yang dilakukan “terpaksa” oleh pemerintah kolonial dan pada giliran ini Hal ini menyebabkan protes masyarakat didorong oleh petani, buruh, ulama dan tokoh desa. Peristiwa ini kemudian pecah menjadi konflik berdarah yang kemudian dikenal dengan Tragedi Hamuk Hantarukung yang terjadi pada tahun 1899 di desa Hantarukung – Kecamatan Amandit, pertikaian tersebut menewaskan beberapa pejabat kolonial termasuk seorang pengawas Belanda. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, pemerintah kolonial terpaksa mengerahkan dua regu pasukan pribumi yang dipimpin oleh masyarakat setempat dari Distrik Amandit sendiri untuk memadamkan pemberontakan rakyat.
Epilog
Awal abad ke-20 merupakan masa transisi penting bagi koloni. Pemerintah kolonial sebenarnya ingin meminimalisir konflik dengan masyarakat. Namun, dalam hal lain praktik kebijakan politik etis yang diharapkan mengutamakan tanggung jawab moral kepada penduduk pribumi malah diterapkan oleh pemerintah di Hindia Belanda. Politik garis warna diwujudkan dalam bentuk diskriminasi terhadap pribumi, seperti penerapan politik penindasan berupa kerja wajib (erakan kerja), bantuan tunai dan pajak yang memberatkan rakyat. Hasil kerja paksa, uang hasil kerja dan pajak digunakan pemerintah kolonial sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah. Kerja paksa dapat dikenakan pada semua orang, kecuali kelompok Pangreh Praja.