Meski Pemilu tinggal sembilan bulan lagi, gugatan soal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) belum juga selesai. Sejumlah pakar sepakat, masalah-masalah yang dihadapi Indonesia, tidak sekedar karena pemilihan sistem itu.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada Senin (15/5), para ahli yang hadir sepakat, bahwa pergantian sistem tidak sepenuhnya membuat persoalan hilang. Salah satu ahli ini, yaitu pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Sumatera Barat, Dr Khairul Fahmi.
“Terkait apapun persoalan yang terjadi dalam Pemilu, seperti politik uang, persaingan tidak sehat, kecurangan, dan sebagainya, semua itu mungkin saja terjadi dalam semua sistem Pemilu apapun,” kata Khairul di ruang sidang.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) melalui sejumlah kadernya mengajukan judicial review UU Pemilu, khususnya terkait sistem proporsional terbuka yang saat ini dipakai. Sistem ini, mereka nilai memiliki sejumlah kekurangan, dan Indonesia sebaiknya kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Secara sederhana, dalam sistem Pemilu proporsional tertutup pemilih mencoblos gambar partai. Karena itu, terkait siapa yang akan duduk di kursi parlemen, sepenuhnya menjadi wewenang partai. Sebaliknya, dalam sistem proporsional terbuka yang saat ini dipakai, pemilih mencoblos langsung nama calon wakil rakyat yang mereka inginkan.
Khairul menambahkan, pengalaman berbagai negara di dunia, yang menerapkan sistem berbeda-beda, baik terbuka maupun tertutup, ternyata juga memiliki masalah serupa. Politik uang atau persaingan tidak sehat umum ditemukan, berikut sejumlah persoalan lain. Karena itulah, Khairul meyakini, praktik curang dan politik uang dalam Pemilu, tidak dapat dijadikan dasar untuk menjadikan sistem proporsioal terbuka sebagai tertuduh.
“Praktik curang dan politik uang itu, lebih karena memang sikap dan perilaku peserta Pemilu di negeri ini, yang masih tak kunjung berhasil diperbaiki,” tegasnya.
Khairul juga mengatakan, “ Tentunya partai politik sebagai pemegang peran sentral, juga mesti serius melaksanakan peranannya, untuk melakukan pendidikan politik, dan memastikan para anggotanya, tidak berlaku curang dalam pemilu.”
Di sisi yang lain, jika ingin persoalan itu diatasi, upaya penegakan hukum terhadap praktek politik curang dan politik uang harus diterapkan maksimal. Selama ini, langkah ini belum optimal karena berbagai hal, termasuk faktor lemahnya aturan dalam menjerat para pelaku politik uang, papar Khairul.
Terkait alasan, bahwa sistem proporsional terbuka menjamin afirmasi, khususnya bagi perempuan, tidak sepenuhnya diterima anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.
“Pada dasarnya kebijakan tindakan khusus sementara atau affirmative action, kebijakan afirmasi, dia melekat juga sebagai bagian dari electoral engineering. Bisa dilakukan dalam sistem pemilu apapun,” kata Titi yang duduk sebagai ahli dalam persidangan ini.
Sistem pemilu proporsional tertutup akan memberi insentif pada keterpilihan perempuan dengan syarat, perempuan ditempatkan pada nomor urut atas. Padahal, saat ini saja ketika undang-undang jelas mengamanatkan bakal caleg memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, masih ada upaya mendistorsi. Contohnya, adalah rencana membulatkan angka perolehan ke bawah, yang menurut Titi sama sekali tidak relevan dalam konteks keterwakilan perempuan 30 persen.
“Jadi yang menjadi problemnya adalah, apapun pilihan sistem Pemilu, electoral engineering untuk menerapkan kuota itu bergantung pada komitmen pembentuk undang-undang,” tambah Titi.
Titi memberikan contoh, komitmen menempatkan perempuan dalam nomor urut atas secara selang-seling itu diterapkan di Timor Leste. Sementara di Rwanda, kebijakan afirmasi diterapkan dengan menetapkan daerah pemilihan khusus bagi caleg perempuan. “Di Rwanda itu, 24 kursi dari parlemennya dipilih melalui electoral college, di antara sesama kontestan perempuan,” kata Titi.
Sementara afirmasi kesukuan, diterapkan di Selandia Baru, dengan menetapkan enam daerah pemilihan khusus bagi caleg dari suku Maori. Dengan daerah pemilihan khusus, siapapun yang terpilih dipastikan berasal dari suku Maori yang diberi afirmasi. Ada juga afirmasi dari sisi aspek pendanaan kampanye di sejumlah negara. Ada insentif yang diberikan kepada partai politik, yang mampu menghantarkan keterpilihan caleg perempuan, berupa penggantian biaya kampanye.
Titi menegaskan, pilihan sistem pemilu bisa beradaptasi dengan kebijakan afirmasi, sepanjang komitmennya dipegang penuh oleh pembentuk undang-undang dan diatur konsisten dalam undang-undang.
Karena itulah, Titi meyakini Indonesia tidak cukup melihat persoalan hitam putih, hanya soal sistem proporsional yang dipakai, apakah terbuka atau tertutup.
Sementara itu, ketika mengisi kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga menyinggung soal sistem Pemilu ini. “Saya kira memang terbuka tertutup ini ada kelemahannya masing-masing. Apakah dia wakil partai atau wakil rakyat, sebenarnya in between. Seperti itulah,” kata Yusril.
Dalam praktiknya, anggota DPR akan menerima arahan dari partai melalui fraksi, yang memperlihatkan posisi mereka sebagai wakil partai. Namun, ada kalanya partai memberikan kebebasan kepada anggota DPR untuk berpendapat berbeda dengan fraksinya, kata Yusril.
Sistem apapun memiliki dilema. Menurut Yusril, dalam sistem proporsional tertutup, siapa yang berhak duduk sebagai wakil rakyat ditentukan partai. “Kalau misalnya tertutup, kecendrungan partai menjadi oligarkis menjadi sangat besar. Nanti yang ditunjuk temannya atau keluarganya saja,” jelas Yusril.
Sebaliknya, sistem proporsional terbuka membuat seleksi oleh partai menjadi tidak terlalu ketat. “Siapa yang terkenal. Siapa yang punya duit, yang bisa membiayai kampanye dipilih. Karena yang membiayai kampanye adalah calon yang bersangkutan, bukan partai. Jadi, masing-masing ada kekuatan, ada kelemahan,” kata mantan menteri sekretaris negara itu.
Secara prinsip, menurut undang-undang peserta pemilu legislatif untuk mem