Sidang lanjutan terdakwa mantan Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif menghadirkan anggota kelompok kerja (Pokja) yang melakukan lelang proyek saat terdakwa menjabat sebagai bupati.
Salah satunya AG Taliko sebagai anggota Pokja yang menjadi saksi dari enam saksi yang diajukan JPU KPK yang menangani belasan proyek.
Diakuinya, dalam rapat anggota Pokja dilarang menanyakan sesuatu kepada kontraktor pemenang tender.
Dikatakan, semuanya sudah diatur oleh Ketua KADIN HST Fauzan Rifani dimana Polja akan mendapatkan 0,65 persen dari nilai proyek.
Saksi menyatakan bahwa masalah biaya hanya dilakukan melalui ‘satu pintu’ yaitu melalui Ketua Kadin HST.
“Saya baru tahu dari pihak kontraktor bahwa pembayaran fee sudah diserahkan kepada Ketua Kadin HST,” Entah kemana uang itu dikirim.
Yang saya tahu ada yang diserahkan ke polisi dan kejaksaan di HST,” jelas saksi Taliko.
Ia juga mengaku sebelum tergugat menjadi bupati, biasanya iuran untuk Pokja sekitar 1 persen, sejak tergugat menjadi bupati jumlahnya menurun.
Tak jauh beda dengan anggota Pokja lainnya, yakni saksi Amir Murtado, hanya mengetahui adanya fee melalui kontraktor pemenang lelang yang dibayarkan kepada Haji Fauzan Rifani selaku Ketua Kadin.
Keterangan saksi tersebut disampaikan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Jumat (5/5/2023) di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Jamser Simanjuntak.
Pemberian honorarium kepada kelompok kerja merupakan hal yang lumrah, meski kedua saksi mengaku salah, keduanya juga berhasil mengembalikan uang yang diterimanya selama pemeriksaan.
Dari Taliko sekitar Rp. 21 juta dan dari Amir Rp. 250 juta.
Terdakwa sendiri membantah keterangan saksi yang menyebut istilah ‘satu pintu’.
Seperti diketahui, dalam dakwaannya jaksa KPK memerintahkan Hari menyatakan terdakwa Abdul Latif telah menyamarkan uang hasil gratifikasi lebih dari Rp 41 miliar yang diperoleh dari jabatannya sebagai bupati pada 2016 dan 2017.
Salah satunya dengan menggunakan nama orang lain.
JPU dalam persidangan mendakwa terdakwa melanggar pasal 12 B juncto pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Kemudian dalam dakwaan kedua, JPU mendakwa pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.