Kampung Awang Landas adalah sebuah dusun di Desa Sungai Buluh, Kecamatan Labuan Amas Utara, Hulu Sungai Tengah (HST). Daerah ini merupakan satu-satunya pemukiman di tengah rawa. Ada 87 kepala keluarga (KK) yang tinggal dan tinggal di sana.
– Oleh: Jamaluddin, HST
Kehidupan penduduk setempat masih sangat tradisional. Jauh dari kemewahan dan hiruk pikuk kota. Namun, warganya tetap ramah dan menikmati pilihan tinggal di tengah rawa.
“Pekerjaan utamanya adalah memancing. Ada juga yang memelihara ikan keramba dan kerbau rawa. Status ekonomi warga di sini menengah ke bawah,” kata Pembakal Sungai Buluh, Suriani, Selasa (29/3). Untuk itu pendidikan sangat penting bagi anak-anak di sana. Guna mengubah pola pikir agar generasi penerus di Awang Landas memiliki masa depan yang lebih baik, lalu bagaimana pandangan orang tuanya terhadap pendidikan?
Di sana memang ada sekolahnya, yaitu SDN 3 Sungai Buluh. Tapi apakah cukup bagi mereka untuk menyelesaikan sekolah dasar? Atau harus naik ke level yang lebih tinggi. Inilah dilema sekaligus ironi pendidikan di kampung rawa. karena jika ingin melanjutkan sekolah mereka harus merantau ke luar desa.
Rahmadi (38) warga setempat memandang pendidikan sebagai kebutuhan bagi anaknya. Meski ia tidak bisa memaksakan kehendak sang anak. “Saya terserah anak. Kalau mau sekolah ya silakan,” ujarnya. Letak geografis menjadi alasan utama.
Ia sudah memiliki pilihan sekolah, jika kelak anaknya ingin melanjutkan pendidikan. Tempatnya berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jaraknya 5 km dari kawasan rawa. Perjalanan juga menjadi berbahaya selama musim angin. Karena perahu yang dimilikinya tidak besar. Sehingga mudah terombang-ambing oleh angin.
“Sekolah juga melewati jalur rawa. Karena mereka tidak punya kendaraan bermotor,” ujarnya. Di sekolah itu ada penginapan. Untuk anak jauh. Seperti pesantren. “Jadi siang hari belajar mata pelajaran umum malam belajar agama,” terangnya. Padahal mereka sudah punya pilihan, keputusan tetap ada di tangan anak.”Kalau anak mau (sekolah) saya ikhlas,” ujarnya.
Setiap rumah memiliki perahu atau kelotok. Penggunaannya sebagai alat transportasi dan penangkapan ikan. Kalau malam minim penerangan, maklum listrik belum nyala. Penduduk mengandalkan generator dan panel surya untuk mengisi daya smartphone dan untuk penerangan rumah mereka.
Meski hidup sempurna, semangat anak-anak Awang Landas untuk mengenyam pendidikan cukup tinggi. Semangat ini mendapat dukungan dari orang tua. Setiap pagi mereka dibawa ke sekolah dengan perahu.
Warga setempat berharap bisa melihat anaknya menjadi anak yang cerdas. Bisa sukses tidak mengikuti jejak orang tuanya. Kini mereka hanya bisa bergantung pada keberadaan sekolah di sana.
Mengapa tidak meninggalkan desa dan menetap di daratan? “Kami tidak punya tanah. Tanah juga mahal. Kami tidak mampu membelinya,” kata warga lainnya, Amat.
Dia telah tinggal di Awang Landas selama 38 tahun. Turun-temurun dari kakek buyut. Sebelumnya, warga sendiri memilih tinggal di kawasan rawa. Mereka adalah perkumpulan peternak kerbau rawa. Sejak saat itu, kehidupan di sana terus berkembang hingga sekarang.
Namun, karena alasan geografis, pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur tertinggal. Misalnya pembangunan sekolah, sayang sekali jika pendidik anak berhenti hanya karena letak geografis. Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan membangun sekolah satu atap. Seperti di pelosok Kecamatan Hanntak dan Batang Alai Timur. (mal/by/ran)