BandungBergerak.id – Keberadaan Tjipto dan Haji Misbach membuat Insulinde afdeeling Surakarta menjadi organisasi pergerakan yang sangat diperhitungkan. Hal ini karena pada tahun 1918-1919 Insulinde afdeeling Surakarta mendapat massa yang banyak berkat usaha yang dilakukan Tjipto sepulangnya dari Belanda, dan juga propaganda Haji Misbach yang awalnya bergerak dalam perkumpulan Sarekat Islam.
Berbeda saat pertama kali cabang itu didirikan pada bulan Maret 1910, para petinggi Insulinde cukup kesulitan memperoleh anggotanya di Surakarta, sementara di masa-masa awal pendiriannya, Insulinde berhasil membentuk kepengurusan dari kalangan Indo dengan diketuai oleh E. Moody bersama Voorneman sebagai sekretaris dan W.A. van Casaud sebagai bendahara. Ditambah Van Asperen dan Halewijn sebagai komisaris (De Locomotief 24 Maret 1910).
Akan tetapi sejak Afdeeling Surakarta dipimpin oleh Vogel, pergerakan dari cabang ini kian menunjukkan perkembangan yang masif, bahkan setelah kehadiran Haji Misbach. Menurut catatan Takashi Shiraishi, bergabungnya Haji Misbach ke dalam Insulinde dinilai sebagai suatu kebetulan.
Pada bulan Maret 1918 Haji Misbach mulai bergabung dalam afdeeling Surakarta sekaligus membentuk komite untuk menelusuri kekhawatiran masyarakat Bumiputera akibat program perbaikan rumah secara paksa oleh pemerintah Hindia Belanda dengan sangat berlebihan. Konon, perbaikan rumah ini merupakan upaya pencegahan wabah pes yang sedang melanda Surakarta, sementara Haji Misbach tampil sebagai wakil dari Kauman pada komite itu dan menjadi anggota Insulinde.
Saat menjadi anggota, Haji Misbach ditunjuk oleh ketua Insulinde afdeeling Surakarta sebagai komisaris. Bahkan dengan kepercayaan yang lebih, Haji Misbach diberi wewenang untuk menggelar openbare vergadering (rapat umum) sebagai bentuk propaganda dalam melawan pemberantasan wabah pes dan beban perbaikan rumah yang dirasakan para penduduk. Muncullah upaya mendirikan kring di luar kawasan Surakarta. Antara lain, mendirikan kring Kartasura bersama seorang pegawai pegadaian, Atmokertanto, yang selanjutnya menjadi ketua Insulinde Kartasura. Ditambah satu orang dari pedagang batik bernama H. Bakri mendampingi Atmokertanti menjadi sekretaris (Shiraishi, 2005:194).
Usaha Haji Misbach untuk melawan tindakan pemerintah itu ternyata membuahkan hasil. Pada bulan Mei, penduduk Kartasura akhirnya terbebas dari perbaikan rumah secara paksa. Akan tetapi para pemimpin Insulinde Surakarta kala itu sangat takut terhadap peringatan asisten residen, lalu memberikan instruksi kepada Haji Misbach dan para pemimpin kring Kartasura agar menghentikan kampanyenya. Sebagai imbas dari ketakutan itu, afdeeling Surakarta kemudian menggelar rapat umum untuk meminta maaf kepada pejabat setempat, sehingga tidak ada lagi kegiatan kampanye untuk menyerang tindakan pemerintah dalam pemberantasan pes (Shiraishi, 2005:194-195).
Pergerakan Haji Misbach dalam Insulinde tidak sampai di situ. Pengaruh Haji Misbach di Surakarta yang juga digambarkan oleh Takashi Shiraishi sebagai sosok hangat, terbuka, ramah serta konsisten dengan perbuatannya, ternyata dapat melanggengkan dirinya untuk tetap berada di Insulinde.
Malah dalam pertemuan umum Insulinde afdeeling Surakarta yang diadakan pada awal Desemeber 1918, Haji Misbach ditunjuk menjadi wakil ketua dengan mendampingi Nyonya Vogel, istri dari Tjipto Mangoengkoesoemo, sebagai ketua. Sementara untuk pengurus lainnya masing-masing dijabat oleh Soedarman (pemimpin Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera/PPPB) sebagai sekretaris I, R. Gatot Sastrodihardjo (redaktur Panggoegah) sebagai sekretaris II; ditambah dengan beberapa orang komisaris, yakni Moedio Wignjosoetomo (redaktur Panggoegah), Sismadi Sastrosiswojo (redaktur Panggoegah), Doellatib (redaktur Panggoegah), Noeriman (pengelola Panggoegah), Harsoloemekso (sekretaris Sidik Amanat Tabligh Vatonah/SATV), R. Ng. Darsosasmito (Wakil ketua SATV), Koesen (pemimpin redaksi Islam Bergerak) dan R.M. Partowinoto (anggota SATV) (Shiraishi, 2005:195-196).
Setelah resmi menjadi wakil ketua Insulinde afdeeling Surakarta, Haji Misbach memulai kembali pergerakan propagandanya di Kartasura, Banyudono dan Ponggok. Dari kring Kartasura terjadi perluasan Insulinde, yakni cabang Karangduren, yang didirikan di sekitar perkebunan tembakau Tegalgondo pada tanggal 29 Desember. Di sana Haji Misbach juga mengorganisasi dan membangun kesadaran politik para petani di tengah penderitaan yang dirasakan karena perubahan susunan agraris di Surakarta dan juga tekananan inflasi yang tidak bisa dihindarkan (Simbolon, 1995:281-282, Shiraishi, 2005:199).
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #11: Kembali ke Tanah Air
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #10: Berada di Tanah Pengasingan
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #9: Penangkapan Tiga Serangkai dan Pembubaran Indische Partij
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #8: Pemerintah Kolonial Menolak Badan Hukum
Memimpin Aksi Mogok hingga Ditangkap Belanda
Pada bulan Maret 1919, cabang Klasemen dari kring Surakarta juga dibentuk di perkebunan Tegalgondo. Baik Haji Misbach maupun para pengurus Insulinde afdeeling Surakarta tidak mengetahui secara pasti jumlah anggota yang masuk. Namun dapat diperkirakan jika dalam waktu kurang dari setengah tahun Haji Misbach dkk. memperoleh massa sekitar 10.000 orang. Bahkan di tengah perluasan kring ini mayoritas petani di Surakarta melangsungkan aksi pemogokan (Shiraishi, 2005:199). Di antaranya yang terjadi di desa Nglungge dengan kelompok taninya yang baru dibentuk pada 16 Februari 1919. Aksi pemogokan itu dipicu oleh kebijakan pemerintah yang berupa beban pajak dan kerja rodi, sehingga dari sini para petani mengajukan tiga tuntutan. Pertama, penghapusan terhadap wajib ronda malam. Kedua, pemerintah dapat membayar kerja rodi yang dilakukan untuk negara. Ketiga, para pejabat desa mesti ikut serta dalam kegiatan kerja rodi (Simbolon, 1995:287).
Sayangnya, pemogokan yang terjadi selama satu bulan itu tidak menghasilkan respons yang baik dari pemerintah kolonial. Tanggal 19 April 1919, asisten residen Surakarta memperingatkan kepada Ny. Vogel dan Haji Misbach jika pemogokan yang dilakukan kelompok petani tersebut telah menyalahi hukum. Dari kejadian ini pengurus Insulinde akhirnya mencoba untuk bernegosiasi dengan para petani supaya dapat menahan diri, dengan timbal balik bahwa pemerintah tidak akan menangkap petani-petani yang terlibat dalam aksi pemogokan (Simbolon, 1995:287-288).
Meski terjadi negosiasi, tidak ada kesepakatan yang terjalin antara pihak petani, perkebunan dan pemerintah. Pada konteks ini, tentu saja posisi Haji Misbach berada di pihak petani, sedangkan dari pemerintah muncul Residen Surakarta, A.J.W. Harloff yang melarang para petani untuk melangsungkan pemogokan. Puncaknya, pada 1 Juli sampai 14 Juli, perlawanan petani yang melibatkan Insulinde terjadi di Polanharjo, Klaten (Simbolon, 1995:288).
Akibat pemogokan ini sebanyak 60 orang petani termasuk Haji Misbach ditangkap oleh aparat pemerintah karena dianggap telah mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat. Kendati pada bulan Mei tuduhan kepada Haji Misbach sebagai aktor di balik pemogokan tersebut sudah disematkan. Rumah Haji Misbach digeledah disertai dengan tindakan represif lain dari pihak kolonial (Shiraishi, 2005, Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie 8 dan 10 Mei 1919).
Dengan demikian, peran Haji Misbach di dalam Insulinde afdeeling Surakarta mendapat ancaman serius dari pemerintah kolonial. Sebagai kawan seperjuangan, Tjipto melalui tulisannya dalam Panggoegah, media Insulinde berbahasa Jawa yang juga dikelolanya, memuji Haji Misbach dengan penuh simpatik dan emosional. Dalam tulisan itu Tjipto menyebut agar Haji Misbach tidak putus asa dan berharap ada pelanjut dari perjuangannya (Simbolon, 1995:289). Sementara para pemimpin Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan mengirim surat telegram kepada Gubernur Jenderal agar Haji Misbach dibebaskan dari jeratan itu. Sebab bagi mereka apa yang dilakukan oleh Haji Misbach bukanlah suatu sikap kriminal seperti mencuri dan membunuh, melainkan menuntut hak para petani dari penghisapan para penguasa setempat dan pemilik perkebunan (Shiraishi, 2005).