Bisnis.com, PURWAKARTA – Satai maranggi merupakan salah satu kuliner khas yang melegenda di Kabupaten Purwakarta.
Ya, satai maranggi adalah kuliner berbahan dasar potongan kecil daging sapi atau domba yang ditusuk dan diberi bumbu racikan kemudian dipanggang di atas bara api. Rasanya lezat dipadukan dengan racikan bumbu rempah-rempah warisan leluhur, serta sambal dadakan yang memberikan sensasi di lidah.
Tak sulit mencari warung makan dengan menu satai maranggi jika berkunjung ke kabupaten ini. Karena, di hampir seluruh wilayah di kabupaten ini banyak dijumpai pedagang satai maranggi. Misalnya, di sepanjang Jalan Raya Bungursari, sekitar Plered, serta Jalan Raya Purwakarta-Wanayasa.
Dalam setiap penyajiannya pun, hampir setiap daerah di Purwakarta memiliki cita rasa berbeda. Seperti halnya satai maranggi Cibungur yang menggunakan sambal tomat sebagai pelengkapnya, atau satai maranggi Wanayasa yang menggunakan sambal oncom dan ketan bakar sebagai pengganti nasi.
Haji Oking, adalah salah satu dari sekian banyak penjual satai maranggi di sekitar Kecamatan Wanayasa. Pria berusia 73 tahun itu, juga merupakan pedagang satai maranggi yang masih memegang citara rasa khas untuk dagangannya.
Saat ditemui di kedainya, Haji Oking mengaku telah berjualan sate maranggi sejak 1985 lalu. Sampai saat ini, ia tetap setia menjadi penjual kuliner berbahan daging sapi dan kambing tersebut, meskipun dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan rumah makan besar di kawasan jalur wisata itu.
“Menu utama yang kita jual dari dulu sampai sekarang adalah satai maranggi berbahan dasar daging kambing muda. Tapi, di lima tahun terakhir ini ada menu sate maranggi berbahan dasar daging sapi juga, termasuk sop kambing muda,” ujar Haji Oking kepada Bisnis.com, Kamis (30/3/2023).
Haji Oking mengaku, di momentum Ramadan seperti sekarang ini, warung makannya memang kerap dijadikan lokasi buka bersama. Satu ekor kambing muda, selalu disiapkan dalam seharinya.
“Kalau dulu sih kita masih bisa potong enam ekor kambing muda untuk jadi bahan satai maranggi dan sop. Kalau sekarang bisa habis satu ekor saja sudah bersyukur,” jelas Haji Oking.
Menurunnya penjualan satai maranggi di kedainya ini, kata dia, bukan karena tidak adanya pembeli. Namun, karena saat ini sudah banyak bermunculan warung nasi dengan menu satai maranggi lainnya di Kecamatan Wanayasa.
“Kalau dulu mah kan penjualnya bisa dihitung jari. Kalau sekarang, hampir setiap wilayah ada. Apalagi di sekitar Situ Wanayasa,” jelas dia.
Namun, bagi Haji Oking, dirinya tak merasa khawatir kalau usahanya kalah bersaing dengan rumah makan atau kedai-kedai lain yang juga menyediakan satai maranggi.
Meskipun, dia tak menampik, bermunculannya rumah makan besar di kawasan tersebut sedikit besarnya cukup berdampak bagi pedagang kecil seperti dirinya.
“Kalau di sini banyak penjual maranggi, saya rasa cukup bagus karena menumbuhkan ekonomi masyarakat khususnya di Kecamatan Wanayasa. Tak perlu takut tersaingi. Karena setiap orang memiliki rizkinya masing-masing. Yang penting, bersaing sehat saja untuk melayani pembeli,” seloroh dia.
Haji Oking menuturkan, selama ini ia sudah mempunyai pelanggan setia yang hampir setiap akhir pekan menyambanginya. Para pelanggannya itu, bukan hanya dari warga Purwakarta tapi banyak juga warga luar daerah.
Haji Oking menambahkan, untuk saat ini dalam sehari dirinya bisa menjual satai maranggi sebanyak 1.000 tusuk yang dihasilkan dari daging satu ekor kambing muda dan 10 kilogram daging sapi.
Adapun satu tusuk satai maranggi di kedainya, dibandrol Rp3.000 per tusuknya. Harga tersebut terbilang sangat murah jika dibandingkan dengan citarasanya yang bikin kita ketagihan.
Konten ini merupakan bagian dari Safari Ramadan yang diselenggarakan oleh Bisnis Indonesia, dan didukung oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Barat, Bank BJB, BUMD PT Migas Utama Jabar (MUJ), dan JNE. (K60)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News