Menanggapi eksepsi penasehat hukum atas dakwaan dugaan gratifikasi dan pencucian uang (TPPU) dalam pengadaan tanah Proyek Bendungan di Kabupaten Tapin,
apalagi dengan kesepakatan para terdakwa dengan sejumlah saksi, JPU menyatakan bahwa hal tersebut sudah masuk ke pokok perkara.
Diketahui, dalam eksepsinya salah satu terdakwa, Sugiannor yang merupakan Kepala Desa Pepitak Jaya melalui kuasa hukumnya Fauzi Rahmi SH mengatakan, dakwaan tersebut simpang siur.
Karena menurut mereka dalam kasus ini sudah ada kesepakatan antara terdakwa dan saksi untuk mengurus semua administrasi jual beli tanah untuk bendungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus ini hanyalah masalah perdata.
“Kami menganggap ini hanya perkara perdata, karena sudah ada kesepakatan antara saksi dan terdakwa. Mereka minta diurus administrasi dengan kesepakatan uang hasil penjualan dibagi dua. Jadi dimana tindak pidana korupsinya. , ujar Rahmi Fauzi.
Menanggapi hal tersebut, JPU Dwi Kurnianto SH mengatakan,
Kesepakatan antara para terdakwa dan saksi telah memasuki pokok perkara, sehingga perlu dibuktikan di depan pengadilan
“Nanti akan kami buktikan di persidangan,” kata Dwi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Senin (26/6).
Sedangkan terkait dengan pelaksanaan kewenangan negara atau pegawai negeri sipil yang disalahgunakan oleh salah satu terdakwa, Akhmad Rizaldi, menurut JPU masuk dalam ranah hukum pidana. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga penyelesaian perkara dilakukan oleh pengadilan tindak pidana korupsi
“Oleh karena itu kami meminta majelis hakim untuk tidak mempertimbangkan pengecualian dari penasehat hukum dan mengesampingkannya,” katanya.
Alasan JPU, eksepsi itu tidak mendasar dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim yang diketuai Suwandi SH mengatakan akan memutuskan pembacaan sela pekan depan.
Diketahui, ketiga terdakwa Sugiannor, Ahmad Ruzaldi, dan Herman disebut secara bersama-sama memotong 50 persen dari lima korban yang mendapat ganti rugi pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan.
Pada umumnya korban dari kelima penerima uang santunan tersebut karena dokumen-dokumen yang tidak lengkap dan ketiga terdakwa melakukan pengurusan yang lengkap.
Sebenarnya Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa kelima korban tidak mau memberikan uang yang diminta, namun karena surat tanah yang dimilikinya kurang, maka terpaksa diberikan.
JPU mendakwa ketiga terdakwa dengan pasal berlapis yakni pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kode kriminal.
Kedua pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 1 KUHP.
Adapun pelanggaran terkait pencucian uang, JPU pertama menetapkan Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kedua Pasal 4 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus untuk terdakwa Herman karena merupakan orang pribadi, maka dikenakan Pasal 3 pasal 1 dan 2 pasal 5 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Seperti diketahui, bendungan yang menghabiskan anggaran hingga Rp 1 triliun itu merupakan proyek tahun jamak antara 2015 hingga 2020. Dalam kasus ini, 20 orang telah dijadikan saksi dan diperiksa. Mulai dari pemilik tanah, kepala desa, hingga mantan kepala BPN Tapin.