Sejarah gelar haji zaman kolonial Belanda awalnya orang yang berangkat naik haji tak pulang membawa gelar “Haji” di depan namanya.
Pemberian gelar haji tersebut terjadi setelah Belanda menerapkan sistem kontrol sosial bagi pribumi yang telah menunaikan rukun Islam ke-5.
Menurut Yoyok Rahayu Basuki dalam Majalah Ganesha bertajuk, “Knowledge: Asal Mula Gelar Haji” (2015), awal mula pemerintah kolonial memberikan gelar haji tertuang dalam keputusan Staatsblad tahun 1903.
Tujuan utama pemerintah kolonial memberikan gelar tersebut selain untuk mengontrol gerakan pribumi, tetapi juga berfungsi untuk menelusuri identitas dan pergaulan orang-orang yang pernah mereka temui di tanah suci.
Baca Juga: Haji Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional 2022 dari Sukabumi
Sebab kebanyakan orang yang sudah menunaikan ibadah haji dan pulang ke tanah air, biasanya sering memimpin gerakan yang mengarah pada pemberontakan. Menuntut umat Islam menghajar kolonial yang berujung keinginan untuk menjadi bangsa merdeka.
Lalu siapa sajakah tokoh-tokoh bergelar haji yang pulang ke tanah air membawa perubahan?
Sejarah Gelar Haji dan Kisah Haji Muhammad Darwis
Haji Muhammad Darwis adalah nama asli dari KH. Ahmad Dahlan. Ia merupakan tokoh besar umat Islam di Yogyakarta yang pernah menetap di Makkah bertahun-tahun lamanya. Selain itu Darwis juga menunaikan ibadah haji beberapa kali di tanah suci.
Sepulang dari Makkah Muhammad Darwis mendirikan organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Perkumpulan umat Islam yang kritis dan berpengetahuan itu didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, atau pada 8 Dzulhijjah 1330 hijriyah.
Muhammad Darwis menggunakan Muhammadiyah untuk mendidik rakyat pribumi supaya paham dengan aturan-aturan kolonial yang menindas. Ia ingin mencerdaskan bangsa supaya suatu saat bisa merasakan artinya kemerdekaan, hidup tanpa derita, tekanan, dan paksaan dari orang-orang Belanda yang tamak.
Alhasil pengikut Darwis banyak, Muhammadiyah jadi organisasi Islam popular yang tumbuh di perkotaan Jawa. Cabangnya berdiri di setiap kota, Muhammadiyah semakin terang dan jelas memiliki tujuan mulia: memperjuangkan kesejahteraan umat Islam di Hindia Belanda.
Melihat gerakan ini Belanda khawatir jika Muhammadiyah dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis bisa mengganggu stabilitas birokrasi kolonial.
Pada akhirnya setelah beberapa kali naik haji, pemerintah kolonial menerapkan pemberian gelar Haji pada Muhammad Darwis.
Baca Juga: Haji Agus Salim, Siswa HBS Tolak Beasiswa Kartini ke Belanda
Selain Muhammad Darwis hampir seluruh dari anggota serta pengurus Muhammadiyah yang sudah menunaikan rukun Islam terakhir diberinya gelar Haji oleh pemerintah kolonial. Mereka terus mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan Muhammadiyah.
Kyai Haji Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama
Sejarah gelar Haji pada zaman kolonial, setelah KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, kali ini giliran Kyai Hasyim Asy’ari yang mendapatkan gelar “Haji” berpengaruh dari pemerintah kolonial. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri organisasi besar Islam di Indonesia bernama Nahdlatul Ulama.
Organisasi tersebut berdiri pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Hasyim Asy’ari mendidik umat Islam di pedalaman Jawa untuk mempelajari agama Islam. Wabilkhusus masyarakat Islam yang ada di Surabaya, Jawa Timur.
Sebagaimana KH. Ahmad Dahlan nama KH. Hasyim Asy’ari tak kalah populernya di kalangan umat Islam Indonesia. Pengikut Nahdlatul Ulama ada ribuan bahkan jutaan orang saat itu, hal ini membuat pemerintah kolonial cemas.
Belanda khawatir apabila KH. Hasyim Asy’ari mengarahkan seluruh pengikutnya untuk memberontak pada pemerintah. Apalagi beberapa kali Nahdlatul Ulama telah berhasil menginspirasi gerakan-gerakan kemerdekaan di daerah yang membuat kolonial kesulitan.
Maka dari itu sama seperti yang kolonial lakukan pada KH. Ahmad Dahlan –memberi gelar haji, KH. Hasyim Asy’ari pun memperoleh gelar tersebut dan pengontrolan yang ketat dari pemerintah Belanda.
Perilaku khusus ini Belanda lakukan demi kebaikan institusi pemerintahan, supaya tidak memercikan api kerusuhan yang beresiko mengganggu stabilitas birokrasi.
Baca Juga: Haji Muhammad Sudjak, Ditertawakan saat Ingin Bangun RS PKU Muhammadiyah
Menaruh Mata-Mata Mengurus Keberangkatan Haji
Tak hanya memberikan gelar haji pada tokoh-tokoh ulama Islam asal Indonesia sepulangnya dari tanah suci, dalam sejarah tercatat kolonial Belanda juga telah mengontrol “orang-orang berbahaya itu” dengan menaruh mata-mata di setiap keberangkatan haji.
Menurut Shaleh Putuhena dalam buku berjudul, “Historiografi Haji” (2007), mata-mata yang ditugaskan Belanda mengawal keberangkatan haji bernama Snouck Hurgronje –seorang orientalis Yahudi yang terampil berbahasa Arab layaknya seorang Syekh.
Snouck mengawasi setiap keberangkatan, termasuk ketika sampai di tanah suci ia bertugas mengontrol jejaring haji. Siapa saja orang yang ditemui Jamaah di Makkah, apa maksud dan tujuannya, dan bagaimana kelanjutannya.
Semua itu Snouck kontrol, ia mengerjakan tugas-tugas spionase yang berakhir pada pembukuan. Tujuannya untuk dikirim ke pemerintah Hindia Belanda mengenai aktivitas para haji di tanah suci.
Dengan begitu mereka akan mudah mencegah para haji yang pulang ke Indonesia untuk membawa perubahan.
Snouck Hurgronje juga kerap menghalang-halangi regulasi pemulangan haji yang beresiko tinggi membawa perubahan. Tetapi itulah pekerjaan mata-mata Yahudi yang bekerjasama dengan Belanda untuk meredupkan persatuan Islam di tanah air. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndui
This post was last modified on Maret 18, 2023 11:43 PM