Sebuah kelompok masyarakat sipil Indonesia telah meluncurkan pendanaan senilai jutaan dolar pada hari Senin, 8 Mei, untuk memberdayakan masyarakat adat dan lokal di seluruh Indonesia dalam perang melawan perubahan iklim. Pendanaan, yang dinamakan Dana Nusantara, merupakan mekanisme pertama bagi masyarakat adat dan lokal di Indonesia untuk menerima pendanaan langsung, dan diluncurkan oleh kelompok lingkungan WALHI, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan LSM masyarakat adat AMAN. Mereka menerima dana awal sebesar $3 juta dari organisasi-organisasi filantropi internasional seperti Ford Foundation dan Packard Foundation.
Pendanaan ini adalah bagian dari Ikrar Kepemilikan Hutan senilai $1,7 miliar, yang pertama kali diumumkan pada KTT Iklim COP26 di Glasgow, dan mengakui peran penting masyarakat adat dan lokal dalam melindungi hutan tropis dan kontribusinya untuk memitigasi perubahan iklim. Indonesia, yang menjadi rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, mengklaim telah membuat sejumlah kemajuan dengan mengurangi laju kehilangan hutan selama lima tahun berturut-turut hingga 2021. Meskipun begitu, jumlah tutupan hutan terus menyusut.
Sebuah penelitian oleh Rainforest Foundation Norway menemukan bahwa masyarakat adat menerima dana iklim untuk manajemen hutan sekitar $2,7 miliar (sekitar Rp39,7 triliun) antara tahun 2011 dan 2020 dari para pendonor dan filantropi, setara dengan kurang dari satu persen bantuan pembangunan resmi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim selama periode tersebut.
Dana Nusantara diluncurkan untuk membantu memperbaiki ketidakseimbangan dalam distribusi dana iklim, kata presiden Ford Foundation, Darren Walker. Dana tersebut berupaya menjawab kebutuhan masyarakat lewat pendekatan dari bawah ke atas, mengharapkan mereka sendiri mengidentifikasi tantangan yang mereka hadapi dan solusinya. Para pendiri dana tersebut berusaha menarik investasi hingga $20 juta dalam 10 tahun ke depan untuk membantu memetakan lebih dari 20 juta hektar wilayah adat, dan meningkatkan perlindungan dan pendaftaran 7,8 juta hektar tanah adat di luar yang sudah diakui, di antara target-target lainnya.