Penggunaan strategi politik identitas dalam pemilihan presiden 2024 di Indonesia mendapat respons negatif dari masyarakat. Namun, menurut para pakar, setiap calon presiden akan mempersiapkan strategi ini sebagai senjata simpanan yang bisa digunakan ketika dibutuhkan. Dalam praktiknya, adu program menjadi wajah awal yang menghiasi kampanye pasangan calon presiden, namun politik identitas akan digunakan jika strategi program tidak cukup meyakinkan publik.
Dekan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas’udi, Ph.D, mengatakan bahwa politik identitas akan digunakan ketika terjadi perkembangan politik yang membutuhkan strategi alternatif. Politik identitas akan menargetkan ceruk massa tertentu yang sangat terpikat dengan isu identitas.
Meskipun penggunaan politik identitas mendapat respons negatif dari masyarakat, para pakar meyakini bahwa strategi ini akan dipertahankan pada pemilihan presiden tahun 2024. Setiap suara sangat penting bagi kemenangan seorang calon presiden, sehingga politik identitas menjadi sangat kritikal dalam situasi ini. Oleh karena itu, persoalannya bukanlah apakah politik identitas masih relevan atau tidak, melainkan seberapa kuat dan seberapa masif politik identitas akan digunakan.
Di media sosial, konten politik identitas sudah tidak begitu diminati oleh pengguna. Shafiq Pontoh, Chief Strategy Officer perusahaan analis data, Provetic, mengatakan bahwa pengguna media sosial lebih tertarik pada konten-konten penuh inspirasi. Namun, politik identitas masih dipertahankan oleh para buzzer untuk menyerang lawan politik.
Politik identitas juga pernah menjadi tren di negara lain seperti Malaysia, Amerika Serikat, dan India. Di Indonesia, diskusi mengenai politik identitas dimulai pada akhir 90-an dengan pelacakan 81 karya intelektual bertema ini pada tahun 2010 dan meningkat hingga 1.250 karya ilmiah terindeks oleh Google Scholar pada 2021. Meskipun demikian, tren ini masih harus melihat berbagai faktor yang mempengaruhinya untuk bertahan atau tidak.