TAHUKAH KAMU Pian, siapa sosok yang namanya diabadikan sebagai nama bandara di Kota Banjarbaru? Syamsudin Noor adalah pilot perintis yang lahir di Alabio, Kecamatan Sungai Pandan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Namun sosok ini memang kurang populer di Banua. Karena sejak kecil ia bersekolah di Jawa. Kita tahu bahwa pada zaman penjajahan, hanya keturunan bangsawan atau anak saudagar kaya yang bisa bersekolah di Belanda. Dalam buku ‘Apa dan Siapa dari Utara’ yang ditulis wartawan kawakan Yusni Antemas, Sjamsudin (ejaan lama) lahir pada 5 November 1924 di Alabio.
Sjamsudin adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang ulama yang dihormati, Kiai Abdul Gaffar. Sedangkan ibunya adalah keturunan keluarga Kerajaan Pulau Luat, Putri Ratna Wilis. Tahun 1936 sampai 1942, Sjamsudin bersekolah di Mear Uitgebreid Lager Orderwijs (MULO) Bogor.
Kemudian sekitar tahun 1945 ia melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbaar School (AMS) Yogyakarta. “AMS adalah akademi militer. Syamsudin lulus tahun 1946,” kata Ahdiat Gazali Rahman, pemerhati sejarah lokal HSU.
Melanjutkan ke sekolah penerbangan yang dirintis oleh Perwira III Petit Muharto Kartodirdjo. “Jadi Syamsudin adalah orang Banua asli Alabio yang belajar di sekolah penerbangan terkemuka saat itu,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin, kemarin (22/6).
Bahkan, untuk mengantongi surat izin pilot. Ditandai dengan pemberian brevet kelas II pada tahun 1947.
Dua tahun kemudian, Januari 1949 hingga 1950, Letnan Satu Sjamsudin Noor dipekerjakan oleh Indonesia Airways (cikal bakal Garuda Indonesia). Ahdiat menegaskan, saat itu Alabio sudah terkenal sebagai kampung orang-orang terpelajar. Sjamsudin sendiri lahir di Desa Teluk Betung dan mengenyam pendidikan tinggi.
Tentu butuh “keistimewaan” untuk bisa sekolah jauh-jauh ke Jogja. “Yang masih menjadi misteri adalah apakah ada kerabatnya yang masih tinggal di Alabio,” tambahnya. Mengenai medan pertempuran Lettu Sjamsudin, hal ini terjadi ketika pecah Agresi Militer Kedua, ketika Sekutu yang didukung oleh Belanda menyerbu Indonesia. Penerbang perintis yang berada di luar negeri, termasuk Lettu Sjamsudin, kembali membawa senjata untuk para pejuang republik.
Ahdiat kemudian mengutip catatan milik TNI AU. Disebutkan, pada Minggu 26 November 1950 pukul 17.00 WIB, pesawat Dakota T-446 yang dipiloti Sjamsudin mengalami kerusakan mesin saat terbang di sekitar Gunung Galunggung, Jawa Barat.
Ditambah cuaca buruk, pesawat menabrak lereng gunung, sekitar 15 kilometer tenggara Malangbong Ciawi Tasikmalaya.
“Syamsudin meninggal dunia. Dianggap sebagai salah satu pelopor lahirnya Indonesia Airways, dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung pada 29 November 1950. Pemakamannya disertai salvo,” jelasnya.
Memang pantas mengabadikan nama Lettu Sjamsudin untuk nama bandara terbesar di Kalimantan Selatan ini. Mengingat beberapa bandara di Indonesia juga menggunakan nama pilot perintis Indonesia.
Sebut saja Adisutjipto di Yogyakarta, Adi Soemarmo di Semarang, Abdul Rahman Saleh di Malang, Husein Sastranegara di Bandung, dan Halim Perdanakusuma di Jakarta.