- Pemukiman di beberapa desa dekat ssungai di Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, langganan banjir Meski begitu, hingga saat ini belum ada komitmen serius dari pemerintah untuk mencari solusi jangka panjang terkait penanganan banjir ini.
- Wacana relokasi pemukiman warga juga muncul untuk mengatasi banjir yang terus berulang ini. Noviardi, Kepala Pelaksana BPBD Kepulauan Mentawai, mengatakan salah satu persoalan mendasar terkait relokasi adalah ketersediaan lahan. Kondisi ini hampir tidak jauh berbeda dengan relokasi warga yang menjadi korban tsunami pada 2010 lalu.
- Rifai Lubis, Direktur Yayasan Mentawai Citra Mandiri (YCMM) mengatakan, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Mentawai, daerah yang mengalami banjir sudah berisiko sedang dan tinggi. KKejadian ini tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang. Llokasi yang mengalami banjir di Pulau Siberut seperti Desa Sirilanggai dan Monganpoula di Siberut Utara dan Policoman, adalah kawasan dengan konsesi perusahaan kayu hulu yang telah memperoleh izin pemanfaatan hasil hutan kayu oleh Kementerian Kehutanan–Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
- Walhi Sumatera Barat mengatakan, bAnjir di beberapa desa di Pulau Siberut tak lepas dari rusaknya ekosistem DAS Mentawai. Siberut sebagian besar berhutan dan terus mengalami deforestasi. Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar mengatakan, dPenghijauan ini dipicu oleh kegiatan perizinan HTI atau HPH yang mengepung lahan di Siberut (sejak tahun 1970-an).
Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, rawan banjir. Seperti yang terjadi November lalu, banjir di Siberut setinggi dua meter. Data dari BPBD Kepulauan Mentawai sedikitnya 697 KK terdampak banjir yang tersebar di enam desa, yakni Desa Sikabaluan, Monganpoula dan Malancan (Siberut Utara), Sigapokna (Siberut Barat), Sagalubbek dan Desa Pasakiat Taileleu (Siberut Barat Daya) dan Matotonan (Siberut Selatan). Siberut).
Pemukiman di beberapa desa dekat sungai di Siberut rawan banjir. Meski begitu, hingga saat ini belum ada komitmen serius dari pemerintah untuk mencari solusi jangka panjang terkait penanganan banjir ini.
Elias Piau, Kepala Desa Sigapokna, mengatakan penanganan banjir di pemukiman warga bantaran sungai di Pulau Siberut tidak akan diselesaikan oleh pemerintah desa atau kecamatan. Perlu peran pemerintah kabupaten dan provinsi. “Sebelumnya BPBD menyatakan daerah tersebut rawan banjir. Tentukan dulu daerah mana yang menjadi prioritas dan terakhir. Untuk pemindahan ke daerah relokasi bisa difasilitasi desa dan kecamatan, namun untuk relokasi ini membutuhkan biaya. membangun rumah, apalagi melakukannya secara mandiri,” katanya.
Seiring dengan berpindahnya tempat tinggal, masyarakat juga akan beradaptasi dengan kehidupan baru di daerah yang lebih tinggi. Namun, kata dia, hal itu tidak menjadi masalah yang berarti karena masyarakat sudah terbiasa bercocok tanam.
“Sekarang yang ada di benak masyarakat, setiap ada banjir selalu berharap bantuan pemerintah, ini tidak baik, solusinya tetap relokasi. Kalau pemerintah sudah memutuskan, tentu masyarakat akan mengikuti. Untuk Desa Policonan ada Ada 167 rumah yang harus direlokasi,” ujarnya.
Noviardi, Kepala Pelaksana BPBD Kepulauan Mentawai, mengatakan salah satu persoalan mendasar terkait relokasi adalah ketersediaan lahan. Kondisi ini hampir tidak jauh berbeda dengan relokasi warga yang menjadi korban tsunami pada 2010 lalu.
Selain itu, masyarakat di bantaran sungai sudah hidup dan menggantungkan hidupnya di sana, juga harus didukung dengan sumber daya ekonomi.
“Sementara itu, anggaran pemerintah sangat terbatas. Solusi jangka pendek bagi masyarakat di bantaran sungai adalah membangun ketahanan pangan. Untuk relokasi, kami serahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat melalui Pemdes,” ujarnya.
Martinus Dahlan, Plt Bupati Kepulauan Mentawai, mengatakan akan membahas rencana relokasi tersebut. “Daerah bantaran sungai di Siberut rawan banjir dan harus kita relokasikan. Termasuk pemukiman warga yang sering terkena banjir rob atau air pasang, seperti di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara,” ujarnya.
Hutan di hulu terkikis
Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) Mentawai, wilayah yang mengalami banjir sudah berada pada risiko sedang dan tinggi. “Selain sifatnya yang alami, kejadian ini tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang,” ujarnya tertulis Mongabay.
Model pemanfaatan kawasan hutan yang kurang tepat membuat Pemerintah Kepulauan Mentawai memasukkannya ke dalam skema perhutanan sosial. “Namun RTRW ini kandas, karena ada izin HPH dan HTI.”
Menurutnya, lokasi yang mengalami banjir di Pulau Siberut, seperti Desa Sirilanggai dan Monganpoula di Siberut Utara dan Policoman, merupakan wilayah konsesi perusahaan kayu hulu yang telah mendapat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dari Kementerian Kehutanan—sekarang Kementerian Kehutanan. Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). . Banjir ini, kata dia, tak lepas dari hutan yang terdegradasi akibat pemberian konsesi.
Tentu saja Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang paling bertanggung jawab atas banjir tersebut. “Kami meminta Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk datang ke Mentawai dan mengevaluasi kelayakan beban konsesi di Siberut sekaligus meminta maaf kepada masyarakat Siberut yang mengalami banjir dan kerugian lainnya akibat pemberian konsesi. .”
Hal senada disampaikan WALHI Sumbar. Banjir di beberapa desa di Pulau Siberut tidak lepas dari rusaknya ekosistem DAS Mentawai. Siberut sebagian besar berhutan dan terus mengalami deforestasi.
“Deforestasi ini dipicu karena kegiatan perizinan HTI atau HPH yang melingkupi seluruh lahan di Siberut (sejak 1970-an). Tercatat pulau ini terbebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri,” kata Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar.
Ia menyebutkan beberapa perusahaan yang memiliki izin sejak 1970-1990-an, seperti PT Andatau, PT Tridatu, dan PT Cirebon Agung. Sempat terhenti, kemudian PT Koperasi Andalas Madani melanjutkan pengumpulan kayu (2001-2007). Di Kabupaten Siberut Utara terdapat izin PT Salaki Summa Sejahtera seluas 47.605 hektar (2004), di Kabupaten Siberut Tengah dan Utara izin PT Biomas Andalan Energi seluas 19.876,59 hektar (2018).
“Energi Andalan Biomassa terbaru. Pembukaan kawasan hutan tentu akan terjadi secara besar-besaran, risiko ancaman dan bencana ekologis mengiringi kehidupan masyarakat di Pulau Siberut,” ujarnya.
Sebelumnya, HPH membawa dampak negatif, bahkan tanah dan hutan ulayat yang telah menopang kehidupan dan kearifan lokal harus dipertaruhkan demi kepentingan bisnis energi.
Dalam dokumen RTRW disebutkan bahwa DAS tiga sungai yang masuk dalam rencana lokasi HTI merupakan daerah rawan banjir. Oleh karena itu, harus dikelola sesuai dengan kearifan lokal.
Walhi Sumbar meminta ketegasan pemerintah untuk memulihkan kondisi alam di Siberut.
Isril Berd, pakar daerah aliran sungai (DAS) dan lingkungan, mengatakan Siberut secara geofisik memiliki hutan dan sungai dengan topografi lebih rendah dari pantai. Sedangkan bagian tengah perbukitan dengan ketinggian sekitar 300 meter merupakan hulu dari banyak sungai di Siberut, khususnya Siberut Utara.
“Banjir terparah sering terjadi di Siberut Utara,” katanya.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas ini menuturkan, jauh sebelum banjir seperti ini, sekitar tahun 1970-an, hutan di Siberut masih bagus. Ketika pemegang konsesi meninggalkan Pulau Mentawai, khususnya Siberut, pembukaan hutan dimulai.
“Jika tutupan hutan alam diubah menjadi peruntukan lain atau dieksploitasi, akan sulit untuk kembali ke bentuk semula, sekalipun ditanami, direboisasi,” ujarnya. Mongabay baru-baru ini.
Ketika hutan telah dibuka dan belum tertutup seluruhnya dalam waktu 2-3 tahun, maka ada peluang terjadinya erosi. Kondisi ini terjadi di Siberut, meskipun terdapat Taman Nasional (TNS) Siberut namun tidak dijaga dengan baik karena berada di daerah terpencil. Ditambah pembukaan lahan untuk bercocok tanam.
“Terjadi perubahan penggunaan lahan, hutan alam dan hutan mangrove telah ditebangi. Kawasan terbuka saat hujan, apalagi intensitasnya relatif tinggi, tentu akan terjadi banjir.”
Misalnya, jika intensitas hujan 10 milimeter per hektar, berarti air yang tertampung 100 meter kubik. Ketika hujan tidak dapat ditampung oleh sungai, maka akan meluap menjadi banjir yang diperparah dengan kondisi hutan yang kritis.
“Kondisi ini menyebabkan banjir. Kita perlu tata ulang pembukaan hutan, targetnya HPH yang diberi izin,” kata Isril.
Kata Isril, di Siberut banyak sungai yang berasal dari daerah dengan ketinggian 300-400 meter. Jika hulu terbuka, air tidak terserap dengan baik ke dalam tanah, melainkan di permukaan. Lagi run-off, serta mengikis permukaan tanah, membawa sedimen yang membuat sungai menjadi dangkal. Saat dangkal, kemampuan sungai untuk mengalirkan debit air terbatas, air meluap dan mengalir ke hilir hingga ke pemukiman warga.
Yang terpenting, hulu sungai dibenahi dengan memulihkan hutan. “Jika terjadi banjir, kami tidak hanya akan kehilangan harta benda kami tetapi juga nyawa kami akan terancam.”
**********