Banjarmasin, KP – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin yang dipimpin hakim Yusriansyah mengaku heran dengan kasus korupsi pengadaan lahan parkir di objek wisata air panas Tanuhi di Loksado, karena pembelian tanah tidak dilakukan. melibatkan instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kandangan.
Hal itu juga dibenarkan oleh saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Dalam sidang lanjutan ini, 4 orang saksi dihadirkan oleh Kejaksaan Tinggi HSS.
3 dari 4 saksi yang dihadirkan JPU mengaku tidak mengetahui secara pasti pengadaan tempat parkir di objek wisata air panas Tanuhi di Loksado.
Saksi atas nama Helda Remta dari Kasubbag Perencanaan Disporpar HSS dan rekannya, bendahara gaji Wahyu Hairil Dispora HSS dan saksi ketiga atas nama Fajar Sahbana dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten HSS, melakukan belum mengetahui secara pasti realisasi dan kapan proyek pembangunan tempat parkir tersebut akan dilaksanakan.
Parahnya lagi, saksi Helda tidak mengetahui secara pasti untuk apa tanah tersebut dibeli, karena tidak terlibat dalam pembelian tersebut, namun mengetahui ada rencana untuk membeli tanah tersebut.
Sementara itu, saksi Fahruddin dari Dinas Perumahan dan Lingkungan Hidup menyatakan,
hanya ada satu tanah yang memiliki sertifikat, sedangkan sisanya 3 tanah yang hanya dikuasai.
Dan ternyata tanah yang dikuasai adalah tanah Negara yang termasuk dalam hutan lindung. Sedangkan lahan yang bersertifikat adalah lahan perkebunan dan sawah.
Untuk diketahui, ada 2 orang terdakwa di Disporapar HSS dalam kasus pembelian tanah untuk dijadikan tempat parkir. Masing-masing adalah Muhammad Zakir selaku PPTK, Eko Hendra Wijaya selaku PTK.
Keduanya sama-sama didakwa dugaan korupsi pembayaran ganti rugi tanah di objek wisata Tanuhi di Desa Hulu Banyu, Kecamatan Loksado.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri HSS, Mahden Kahfi mengatakan, akibat perbuatan kedua terdakwa tersebut, berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalsel, terdapat unsur kerugian negara yang mencapai Rp. 800 juta lebih dari plafon yang tersedia sekitar Rp. 2 miliar lebih.
Lahan yang sudah dibebaskan di objek wisata tersebut rencananya akan dibangun di area parkir dengan dana dari APBD HSS 2019.
Ganti rugi tanah parkir di Desa Hulu Banyu Kecamatan Loksado Kabupaten HSS disidangkan di Pengadilan Negeri Kandangan dalam gugatan yang diajukan Pemerintah Kabupaten HSS terhadap pemilik tanah secara perdata.
Dalam gugatan yang dilayangkan Pemkab HSS, ternyata tanah yang dijual itu masuk dalam kawasan hutan lindung.
Sementara itu, putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor 1/Pdt.G/2022/PN Kgn, majelis hakim memutuskan gugatan itu tidak dapat diterima.
Pertimbangannya, Pemkab HSS belum menunjukkan bukti bahwa lahan yang dibeli berstatus hutan lindung dari otoritas yang berwenang, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pertama dihadapan majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Yusriansyah, mendakwa kedua terdakwa melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi di juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP untuk dakwaan primer.
Sedangkan dakwaan subsider adalah Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP untuk dakwaan subsider. primer kedua Pasal 12 a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, serta subsider kedua Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 s/d 1 KUHP.