Tim gabungan dari Balai Gakkum KLHK bersama Polda Kalbar dan BKSDA Kalbar berhasil menggagalkan peredaran dan perdagangan 417 kilogram sisik trenggiling (Javanica manis), dengan rincian Kalbar 57 kilogram dan jaringan Kalsel 360 kilogram.
Direktur Pencegahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sustyo Iriono mengatakan pengungkapan ini berawal dari laporan masyarakat terkait aktivitas perdagangan sisik trenggiling di Kota Pontianak.
Berdasarkan informasi tersebut, kata Sustyo, pada Rabu (7/6) pukul 22.00 WIB, Tim LHK Gakkum menghentikan mobil jenis Luxio warna putih yang melintas di Kota Pontianak. Setelah dilakukan pemeriksaan, tim menemukan 20 kg sisik trenggiling yang disimpan dalam empat karung milik FAP (31) dan MR (31).
Pelaku FAP adalah warga Dusun Setia Jaya, Desa Permata, Kecamatan Terentang, Kubu Raya. Sedangkan MR merupakan warga Dusun Mega Blora, Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya.
“Keduanya ditangkap di pelataran parkir Hotel Kapuas Dharma, Jalan Imam Bonjol, Kabupaten Pontianak Selatan, dengan barang bukti timbangan trenggiling seberat 20 kg,” kata Sustyo Iriono dalam keterangan pers, Kamis (15/6) sore.
Dari penangkapan kedua pelaku di Pontianak, lanjut Sustyo, pihaknya langsung melakukan pengembangan untuk mengungkap jaringan lain. Tim kemudian berhasil menangkap MND (47) dengan total 37 kg sisik trenggiling yang disimpan di rumahnya di Dusun Nelayan, Desa Setalik, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas.
“Dari pengungkapan kasus ini, barang bukti yang disita sebanyak 57 kg sisik trenggiling,” jelasnya.
Selain barang bukti berupa timbangan trenggiling seberat 57 kg, tim juga mengamankan sebuah mobil jenis Luxio warna putih, timbangan duduk digital Benz Werkz, dan lima buah handphone.
“Ketiga pelaku dijerat Pasal 21 Ayat (2) huruf d Jo. Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda 100 juta rupiah,” ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ratio Ridho Sani mengatakan, dari penelusuran dan analisa komunikasi para tersangka, kasus perdagangan sisik tenggiling di Kalbar terkait dengan sindikat di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Di sana, tim berhasil menggagalkan peredaran dan perdagangan sisik trenggiling dengan barang bukti 360 kg sisik trenggiling. Tim juga menangkap dua orang tersangka, yakni AP (42) warga Desa Banua Binjai, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, dan MR (41), warga Jalan Prona 3, Desa Pemurus Baru, Kabupaten Banjarmasin. , Banjarmasin Selatan, Banjarmasin.
Ratio mengatakan, kerugian lingkungan akibat perburuan dan perdagangan trenggiling sangat besar. Berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi satwa liar, seekor trenggiling memiliki nilai ekonomi terkait lingkungan sebesar Rp. 50,6 juta.
“Bayangkan, untuk mendapatkan satu kilogram sisik trenggiling, Anda harus membunuh minimal empat ekor trenggiling hidup. Jadi, untuk mendapatkan timbangan sebanyak 57 kg, diperkirakan 228 ekor trenggiling telah dibunuh,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Rasio, secara ekonomi kerugian lingkungan akibat pembunuhan trenggiling dari jaringan Kalbar mencapai Rp 11,5 miliar. Sedangkan kerugian dari tindak pidana perdagangan sisik trenggiling seberat 360 kg dari jaringan Kalsel yang bersumber dari pembunuhan sekitar 1.440 ekor trenggiling sebesar Rp. 72,86 miliar.
“Total kerugian lingkungan dari kejahatan hewan ini mencapai Rp. 84,36 miliar,” jelasnya.
Saat ini pihaknya sedang menyelidiki keterlibatan pelaku lain. Jaringan kejahatan ini diindikasikan terkait dengan sindikat lintas negara (kejahatan transnasional).
“Kejahatan terhadap hewan ini adalah kejahatan serius dan terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan besar pada lingkungan dan negara. Kita harus menghentikan jaringan kejahatan ini dan mengambil tindakan tegas terhadapnya,” katanya.
Menurut Ratio, trenggiling memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Trenggiling memakan rayap, semut, dan serangga lainnya. Penindakan terhadap pelaku kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) yang dilindungi merupakan komitmen pemerintah untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati dan keamanan ekosistem Indonesia.
“Para pelaku harus dihukum semaksimal mungkin agar jera dan mendapat keadilan. Kami telah memerintahkan penyidik untuk membongkar sindikat jaringan kejahatan hewan tersebut, termasuk mendorong penerapan Penyidikan Pencucian Uang (TPPU) agar menyasar pelaku utama dan penerima manfaat dari kejahatan ini,” ujarnya.
Ratio juga menyebutkan, saat ini pihaknya telah melakukan 1.946 operasi pengamanan lingkungan dan kehutanan. Sebanyak 1.387 kasus telah dibawa ke pengadilan, baik pidana maupun perdata. Total ada 2.645 korporasi yang dikenai sanksi administratif. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tercatat sebanyak 238 kasus.