Minggu (29/1) lalu, pengurus Masjid Ar-Raudhah menggelar Haul KH. Zaini Abdul Ghani akrab dipanggil Abah Guru Sekumpul. Kerinduan para pecinta Abah Guru Sekumpul terbayar sudah. Karena pada masa pandemi Haul dilakukan secara tertutup atau hanya untuk kalangan terbatas.
Selain sebagai ritual komunal, bagi masyarakat Banjara peringatan Haul Abah Guru Sekumpul juga berarti identitas keislaman mereka. Anekdot “Islam is Banjar, Banjar is Islam” sudah lama populer menggambarkan masyarakat Banjar. Tidak hanya terkenal religius, Banjar Urang juga memiliki identitas kelompok yang terkait dengan agama Islam, mulai dari tradisi hingga struktur sosial.
Alfani Daud, penulis buku Islam dan masyarakat Banjar, menulis bahwa ulama menjadi salah satu entitas penting dalam keislaman masyarakat Banjar. Ulama bukan hanya pusat ilmu agama Islam, tetapi juga tempat bertanya atau berkonsultasi tentang kehidupan sehari-hari, seperti musim tanam, saat membuka toko, berkenalan, tentang urusan rumah tangga.
Di mata masyarakat Banjar, sosok Guru Sekumpul dikenal sebagai seorang ulama besar yang memiliki ilmu dan kerendahan hati yang mendalam. Bahkan tidak hanya di kalangan masyarakat Banjara, ia juga terkenal di luar Kalimantan dan mancanegara. Selain itu, sebagai seorang sarjana yang lahir dan besar di era teknologi media yang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, sosok Guru Sekumpul juga dikenal melalui berbagai media, seperti televisi, radio, hingga VCD.
Tak heran, saat meninggal dunia, jemaah yang rutin mendengarkan ceramah di kompleks Sekumpul merasa sangat kehilangan. Di tengah rasa kehilangan itu, masyarakat Banjar masih menyimpan kenangan akan tokoh yang juga dikenal dengan suaranya yang merdu itu ketika mengajarkan berbagai salawat dan ratib di majelisnya.
Dalam kajian banyak sarjana disebutkan bahwa sebagian besar Banjar memiliki hubungan yang erat dengan Islam Sufi dan Islam Tradisionalis, yang mengacu pada Islam yang mengenal tradisi lokal. Oleh karena itu wajar jika dalam keislaman masyarakat Banjar kita banyak menemukan keterkaitan antar tradisi lokal.
Seperti telah disebutkan, sosok ulama menempati tempat penting dalam struktur sosial masyarakat Banjara. Sehingga masyarakat Banjara memiliki tradisi jemputan dan ziarah yang cukup kuat. Kedua tradisi tersebut bertujuan untuk menjaga silaturahmi dan ingatan ulama mereka. Selain itu, keduanya juga merupakan bagian dari ciri atau identitas masyarakat muslim tradisionalis.
Sosok Abah Guru Sekumpul tidak hanya dipandang sebagai ulama besar di masyarakat Banjar tetapi juga sebagai wali atau orang suci dalam Islam. Tentu saja, tradisi ziarah dan menggambar adalah ritual yang berkembang luas di masyarakat Muslim yang terkait dengan Wali. Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam buku Pilgrimage and Guardians in the Islamic World menyebutkan bahwa para wali atau wali memiliki hubungan yang unik dibandingkan dengan ulama yang masih hidup, yaitu masyarakat muslim mendapatkan kebebasan penuh.
Makam Orang Suci adalah tempat ekspresi agama bebas dan keragaman budaya di dunia Islam. Islam di negara-negara Banjara juga memiliki model-model ekspresi yang dirujuk oleh Loir dan Guillot, seperti menempatkan bunga, kain kuning, air untuk sholat dan foto para ulama tersebut.
Sedangkan tradisi berkumpulnya ulama atau wali lebih berkaitan dengan pola penyambungan generasi penerus dengan generasi sebelumnya. Wali atau wali biasanya adalah tokoh yang memiliki hubungan keagamaan kharismatik atau berwibawa dengan masyarakat sekitar.
Archian, ziarah dan tradisi tradisional bukan sekedar ritual atau peringatan belaka, di dalamnya terdapat ritual keagamaan, ekspresi budaya lokal dan upaya masyarakat untuk menjaga ingatan dan hubungan dengan ulama. Bahkan, ulama yang tangkapannya dirayakan biasanya menjadi bagian dari identitas masyarakat. Seperti sosok Abah Guru Sekumpul di mata masyarakat Banjar
Wajar jika masyarakat Banjar mengunjungi dan memperingati Haul Abah Guru Sekumpul. Sebab, melalui dua tradisi tersebut, masyarakat Banjara menjaga silaturahmi dan kenangan dengan sosok ulama yang dikenal memiliki sifat dermawan tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, karakter Abah Guru Sekumpul adalah seorang ulama yang hidup ketika teknologi media telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sehingga kita bisa menemukan foto, video dan rekaman suara Abah Guru Sekumpul melalui televisi, radio dan video di VCD.
Bahkan sejak hadirnya internet dan media sosial, konten terkait Abah Guru Sekumpul semakin masif beredar sejak ia memasuki era media sosial. Model konten Abah Guru Sekumpul pun semakin beragam, seperti meme, video Tik Tok bahkan stiker di aplikasi perpesanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial berperan penting dalam menyebarkan informasi terkait undian Abah Guru Sekumpul. Bahkan pada rapat umum kemarin (29/1), yang hanya berjarak dua hari dari hari-H, layanan jejaring sosial berperan penting dalam menyebarkan informasi kepada majelis.
Internet dan media sosial memang mewakili jenis model penerimaan dan ekspresi baru dalam ritual ekstraksi. Haul Abah Guru Sekumpul di media sosial menghadirkan ekspresi baru, keterlibatan dan partisipasi dalam ritual, tidak hanya berdasarkan bentuk tarekat sufi, seperti doa, amalan membaca dan wirid.
Media sosial mengubah wajah keterlibatan orang suci melalui ekspresi baru, seperti video kerelawanan, kemacetan lalu lintas, isu sampah, lalu lintas, kepadatan massa, hingga isu eksklusivitas siaran. Dengan kata lain, tradisi menggambar tidak lagi hanya soal agama, tapi juga terkait dengan hal lain, seperti soal sanitasi, kebersihan, dan debat politik.