JAKARTA, KOMPAS.com – Taman (56) telah menjadi marbut di Masjid Istiqlal, Sawah Besar, Jakarta Pusat selama 27 tahun. Dalam perjalanannya mengabdi di masjid, Taman mengaku merasakan keberkahan yang luar biasa.
“Saya merasa bersyukur. Pekerjaan bagaimanapun suka-duka pasti ada. Di sini merasa banyak nikmat. Duka ya, ada, tapi itu risiko yang harus dijalani,” kata Taman saat diwawancarai Kompas.com di Masjid Istiqlal, Senin (27/3/2023).
Perjalanan Taman berawal pada tahun 1995. Pada saat itu, dia ditawari oleh kerabat saat Masjid Istiqlal mengadakan peremajaan bidang keamanan.
“Saya sebelumnya di perusahaan kayu selama 4,5 tahun, tapi hati saya tidak nyaman. Makanya ada saudara di bidang kesehatan Istiqlal nawarin, ‘mau enggak jadi marbut?’. Cobalah titip lamaran lewat saudara,” ujar Taman sambil tersenyum.
Baca juga: Cerita Kuli Angkut soal Eks Sekda Saefullah yang Menjadikannya Marbut Berpenghasilan Jutaan Rupiah
“Waktu masuk 1995, gaji saya di Istiqlal Rp 150.000. Saya harus ninggalin gaji perusahaan Rp 350.000. Tapi karena hati tidak tenang–enggak cocok, ya itu. Saya di sini merasakan kenyamanan yang luar biasa,” lanjut dia.
Taman mengatakan, istrinya sempat bertanya terkait keputusan menjadi marbut di masjid. Lantaran, sang istri tidak bekerja dan Taman harus menjadi tulang punggung keluarga.
“Istri sempat bertanya, kenapa harus tinggalkan yang besar? Saya sampaikan alasannya. Karena selama kita kerja gaji besar, ternyata kita kurang terus–tidak ada ketenangan hati,” tutur Taman.
Lebih sibuk saat bulan Ramadhan
Setelah bekerja di Istiqlal sekitar dua tahun, Taman pun kemudian menjadi bagian dari pelayan jemaah.
Baca juga: Rutinitas Aji Jadi Marbut Selama 8 Tahun, Tak Sekadar Bersih-bersih Masjid
Dalam kesehariannya sebagai pelayan jemaah, Taman bekerja di Masjid Istiqlal selama 08.00-16.00 WIB. Rutinitasnya di masjid adalah merapikan dan memastikan keperluan masjid maupun jemaah selalu terpenuhi.
“Setiap Senin-Kamis kami merapikan kegiatan-kegiatan yang ada di depan mihrab itu. Kan ada kain putih. Kami menyiapkan air untuk kultum, dzuhur, untuk moderator, maupun narasumber,” jelas dia.
“Nanti selebihnya, membenahi Al Quran yang berantakan setelah dipakai jemaah. Kita rapikan kembali, sesuaikan dengan jenisnya masing-masing. Kadang pembatas juga kita rapikan kembali,” tambah dia.
Selain itu, tutur Taman, apabila masih ada waktu yang tersisa, dia dan rekan lain membantu pelayan jemaah wanita untuk merapikan mukena.
Memasuki bulan Ramadhan, Taman mengatakan bahwa dia beserta ratusan marbut lain di Istiqlal memiliki lebih banyak kegiatan. Pasalnya, mereka juga harus mengawasi pengiriman takjil baik dari vendor katering ataupun sumbangan.
“Selain itu, kita juga ada kegiatan lain seperti pengedaran dan perawatan tromol (kotak amal masjid),” ujar Taman.
Baca juga: Keluh Kesah Aji Jadi Marbut, Gaji Naik hingga Rp 4 Juta tapi Makin Sering Dikritik
Elus dada saat ada jemaah ngeyel
Terkait pembagian takjil selama bulan Ramadhan, Taman mengaku merasakan banyak tantangan di kala itu. Khususnya, saat berhadapan langsung dengan jemaah.
“Jemaah tidak semuanya mengerti kalau kami ingin beri pelayanan terbaik untuk mereka. Mereka enggak ngerti–diatur aja kadang susah,” celetuk Taman sambil tertawa.
“(Kami) minta mereka duduk aja enak, duduk manis, tapi mereka seolah takut enggak kebagian (takjil). Padahal Insya Allah, selama ini kami sesuaikan,” tambah dia.
Taman mengatakan, terkadang juga ada jemaah ngeyel terkait pembagian takjil tersebut.
“Kan kami tidak punya kewenangan 100 persen, kami hanya menjalankan amanat yang diembankan,” imbuh dia.
Menjelang maghrib, Taman memaparkan, jemaah cenderung berebut takjil. Lantaran, stok yang disiapkan pihak masjid juga mulai menipis.
Baca juga: Kisah Kuli Angkut Terima Pinangan Eks Sekda DKI Jadi Marbut Masjid Saat Warga Sekampung Menolak
“Biasanya jelang maghrib rebutan. Kalau yang sudah semua duduk, Insya Allah enggak (rebutan). Karena kami petugas yang akan membagikan. Tinggal duduk manis, nanti petugas pasti akan menghampiri enggak perlu takut (enggak kebagian),” jelas dia.
Kebutuhan terpenuhi bahkan naik haji
Meski ada tantangan tersendiri, Taman mengaku tetap bersemangat mengabdi menjadi seorang marbut masjid. Apalagi, kebutuhannya selalu terpenuhi selama bekerja di sana.
“Walaupun kalau hitung-hitungan matematika, memang hak-hak kami enggak kayak banyak orang di luar sana. Tapi pada kenyataannya, keinginan kami juga bisa terpenuhi. Allah mencukupi berbagai kebutuhan kami dengan banyak cara lain,” kata Taman.
Atas kerja kerasnya, setiap bulannya Taman mendapatkan honor sebesar Rp 3,7 juta. Selain itu, dia juga mendapatkan tunjangan hadir.
Ia puas dengan honor tersebut, sebab dia merasa gaji besar pun tidak menjamin kebahagiaan.
Salah satu contohnya adalah ketika Taman diberangkatkan haji pada tahun 2007. Bagi dia, mendapatkan amanat tersebut dari Kementerian Agama adalah sebuah penyemangat tersendiri.
“Saya yakin, jika mengabdi dengan ikhlas, melayani tamu-tamu Allah–orang-orang yang membutuhkan, Insya Allah, Allah akan bantu saya dengan pertolongan-Nya. Apa yang saya inginkan selalu ada jalan. Pasti itu,” ujar dia.
“Selama kita bantu orang lain, Tuhan juga akan tolong kita. Tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang mau membantu kebutuhan orang lain,” lanjut dia.
Taman juga menceritakan kebahagiaannya bisa membeli tanah kecil dan membangun rumah setelah mendapatkan rezeki lebih selepas dia pulang dari naik haji pada tahun 2008.
Pasalnya, sebelumnya dia mengontrak rumah selama 19 tahun.
“Alhamdulillah sampai saat ini bisa dinaungi dengan keluarga. Nah, itu satu kebahagiaan yang luar biasa, bisa punya atap. Makanya saya semangat mengabdi jadi marbut masjid seperti itu. Kebutuhan saya, istri, dan ketiga anak saya selalu ada jalannya untuk bisa dipenuhi,” kata dia.
Ingin berbagi kesenangan kepada orang lain
Ke depannya, Taman berharap bisa lebih meningkatkan pemahaman dan hapalan Al Quran. Selain itu, dia juga ingin bisa selalu berbagi dengan orang lain.
“Saya ada sedikit anak yatim di ribuan rumah. Saya kadang mencari donatur untuk berbagi. Meski saya hanya sebagai jembatan, saya senang bisa berbagi kesenangan untuk orang lain melalui tangan saya,” ujar dia.
“Itu saya jaga sampai saat ini. Saya bangga bisa jadi bermanfaat untuk orang lain,” tambah Taman.
Selain itu, dia juga mengatakan selalu mengajarkan soal berbagi kepada anak-anaknya.
“Saya ajarkan ke anak-anak. Meski anak kedua saya autis, misalnya, saya selalu bekalkan uang untuk berbagi. Misal, ada orang minta-minta,” kata Taman.
“Meskipun sesuai kemampuan kita, meski Rp 1.000 perak, tapi buat yang membutuhkan sangat berharga sekali. Jadi jangan lihat nilainya, lihat niatnya dan orang yang membutuhkannya,” pungkas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.