Beberapa waktu yang lalu saya dan teman-teman mandi di sebuah sungai kecil di pegunungan Meratus (tepatnya di desa Malinau – Kab.HSS). Menjelang jam 4 sore kami bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tersebut, namun ada satu fenomena menarik, saya melihat sekelompok udang kecil menepi ke tepi sungai. Udang-udang ini sangat mudah ditangkap, semakin lama semakin banyak udang menepi, bahkan muncul beberapa ekor kepiting seukuran”mouse“Laptop juga menepi.
Sungai kecil di Malinau yang kami kunjungi memiliki air tawar; Desa sungai mengalir diantara kaki bukit Meratus dan hutan tropis dimana banyak sungai kecil lainnya terhubung.
Sesampainya di rumah, tepatnya setelah makan malam saya menceritakan kepada ibu saya tentang fenomena unik yang saya jumpai di sungai di desa Malinau. Ibuku adalah seorang wanita tangguh yang memiliki pluralitas darah campuran yang berasal dari berbagai etnis. Ia dibesarkan di Hulu Tabalong, tepatnya di Desa Nunding, tempat tinggal terakhir suku Dayak Abal. Ia merupakan generasi terakhir yang mewarisi gen Dayak Abal yang berada di ambang kepunahan. Namun, ia dibesarkan dengan tradisi Banjar Hulu Sungai yang kental karena memiliki garis keturunan Banjar (Hulu) Batang Banyu dari wilayah Kalua dari neneknya. Sesekali ia juga fasih berbahasa Jawa, kata sang ibu, ia mengetahui hal itu karena kakeknya berasal dari daerah Surakarta (Solo) yang datang ke Desa Bongkang (Tabalong) saat industri perkebunan tembakau ramai pada masa penjajahan.
Kehidupan masa kecilnya di Tabalong Hulu yang masih jauh dari dijamah raksasa pertambangan membuatnya banyak mengenal kearifan lokal, pengetahuan alam, kearifan lokal dan budaya. setelah mendengar cerita saya, Ibu tersenyum lalu menjelaskan kejadian “aneh” tersebut kepada saya dari sudut pandang “kearifan lokal”, Ibu mengatakan bahwa fenomena ini biasa terjadi di sungai-sungai kecil di pegunungan. Masyarakat adat di masa lalu melihat fenomena ini sebagai tanda alam bahwa air akan segera naik, air yang dalam (tinggi) akan lewat di sana dalam beberapa hari ke depan, hewan-hewan itu seolah mengalah dan melindungi diri jika tiba-tiba air dalam jumlah besar datang. Saya setengah percaya dan tidak, itu bisa saja “sesuai logika” orang terlebih dahulu.
Hampir lima hari kemudian, Gunung Meratus Amandit dan Kota Kandangan diguyur hujan cukup lama. Saya mendengar kabar bahwa air dengan volume besar mulai masuk ke sungai Amandit (sungai utama yang membelah kota Kandangan), beberapa desa di pegunungan Meratus dilanda banjir dan mengalami banjir bandang dan benar saja salah satunya di Malinau Desa, sungai yang saya kunjungi Beberapa waktu lalu, menurut informasi, ketinggian air di sana lebih tinggi dari tepian sungai. Sejenak saya berpikir, ada benarnya “tanda-tanda alam” yang dikatakan ibu saya beberapa hari sebelumnya. Tidak sampai disitu saja, sebelumnya pada malam hari ketika saya pergi ke belakang rumah untuk mematikan kran air, tiba-tiba saya dikejutkan dengan segerombolan semut. Katikih Semut Salimbada (Lasius Fuliginosusa) merupakan kelompok semut “galak” yang sering dihindari oleh masyarakat Kalimantan Selatan karena gigitannya yang sangat menyakitkan.
Perilaku aneh sekelompok semut Katikih ini membuat saya heran dan agak ngeri. Biasanya semut katikih berjalan dalam garis lurus seperti pasukan tentara. Namun kali ini sedikit berbeda, semut katikih sedikit bertebaran, tidak berjejer memenuhi area di depan saya dan tentunya pemandangan yang relatif menyeramkan. Alhasil untuk sementara saya tunda niat mematikan kran air di belakang rumah.