Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Askhari Dg. Masikki, mengimbau agar tidak lagi menggunakan tengkorak satwa liar dilindungi sebagai aksesoris atau ornamen adat. Dia mengatakan bahwa penggunaan tengkorak yaki dan satwa liar lainnya dalam ornamen adat sebaiknya diganti dengan mitasi atau replika.
Askhari menyampaikan bahwa penggunaan ornamen adat yang memanfaatkan bagian tubuh satwa liar dilindungi dapat secara tidak langsung meningkatkan praktik perburuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada Sinode GMIM, komunitas keagamaan terbesar di Sulut, yang telah ikut serta dalam mengimbau kepada umatnya untuk tidak lagi memburu dan mengonsumsi daging satwa liar, termasuk yaki.
Askhari berharap ada dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah, tokoh adat, dan pemuka agama, untuk menghentikan penggunaan tengkorak satwa liar dalam upacara adat. Dia juga mengakui bahwa masih ada perburuan satwa liar dilindungi di Sulut, khususnya di wilayah Bolaang Mongondow, meskipun jumlahnya tidak sebesar sebelumnya.
Menurut Askhari, sudah mulai terlihat tanda-tanda penurunan perburuan satwa liar, terutama dalam penjualan daging satwa liar di pasar-pasar tradisional. Hal ini bisa disebabkan oleh efektivitas sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat atau mungkin juga karena jumlah populasi satwa liar tersebut sudah menurun.
Monyet yaki merupakan satwa endemik yang dilindungi di Sulawesi Utara. Karena itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengembangkan program peningkatan populasi yaki sebagai spesies prioritas yang perlu dipertahankan.