Kebakaran hutan dan lahan yang meluas di Kalimantan Selatan (Kalsel) memiliki dampak signifikan pada kesehatan penduduk di wilayah tersebut. Departemen Kesehatan di provinsi ini mencatat total 189.111 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dalam waktu tiga bulan selama musim kemarau. Kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran telah memengaruhi kualitas udara, menyebabkan masalah pernapasan di antara penduduk wilayah tersebut. Menurut data dari Pusat Operasi Pengendalian Bencana (Pusdalops-PB) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Banjarmasin memiliki jumlah kebakaran hutan tertinggi dengan 6 titik panas, yang telah menyebabkan kasus ISPA di wilayah tersebut.
Jumlah kasus ISPA terutama tinggi di beberapa kota dan kabupaten di provinsi ini. Misalnya, Banjarmasin mencatat 36.082 kasus, diikuti oleh Kabupaten Banjar (26.237 kasus), Kota Banjarbaru (22.910 kasus), Hulu Sungai Tengah (17.699 kasus), Kotabaru (13.445 kasus), dan Tanah Laut (13.000 kasus). Daerah lain yang juga terkena dampak parah termasuk Balangan (12.174 kasus), Hulu Sungai Selatan (11.584 kasus), Hulu Sungai Utara (10.267 kasus), Tabalong (9.875 kasus), Tanah Bumbu (9.786 kasus), Tapin (9.698 kasus), dan Barito Kuala (8.125 kasus).
Kepala unit krisis dan epidemiologi Dinas Kesehatan Kalsel, Sri Wahyuni, mengatakan bahwa jumlah kasus ISPA di beberapa kota dan kabupaten di Kalsel mencapai puluhan ribu pada bulan Juli. Ia menambahkan bahwa jumlah ini relatif tinggi dibandingkan dengan data tahun sebelumnya. Sri juga menjelaskan bahwa tingkat kejadian ISPA lebih tinggi tahun ini karena kebakaran hutan besar-besaran yang terjadi di provinsi tersebut, yang telah menyebabkan masalah pernapasan di kalangan penduduk. Sri juga menunjukkan bahwa fokus tahun lalu adalah COVID-19, sehingga kasus ISPA tidak begitu meluas.
Situasi saat ini di Kalimantan Selatan telah menimbulkan keprihatinan kesehatan di kalangan penduduk. Kabut asap yang dihasilkan oleh kebakaran memiliki dampak signifikan pada lingkungan dan kesehatan penduduk wilayah tersebut. Hal ini telah memicu protes masyarakat, dan pemerintah mendapat kritik keras atas ketidakberdayaan yang dirasakan terkait masalah ini.
Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat bukanlah fenomena baru di Indonesia. Ini adalah masalah yang kembali setiap tahun selama musim kemarau, yang berlangsung dari Juli hingga September. Penyebab utama kebakaran ini adalah teknik pembakaran ladang tradisional yang digunakan oleh petani lokal untuk membersihkan lahan untuk tujuan pertanian. Meskipun ada larangan penggunaan teknik ini, namun tetap berlanjut, dan hal ini telah menyebabkan kebakaran hutan yang meluas di negara ini.
Upaya untuk mengurangi dampak kebakaran hutan terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia telah sulit dilakukan karena skala masalahnya yang besar. Pemerintah telah melaksanakan beberapa program untuk mengatasi masalah ini, termasuk Program Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, yang diluncurkan pada tahun 1999, dan program Rencana Aksi Nasional tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Pemerintah juga telah mendirikan pusat krisis kebakaran hutan dan lahan untuk memantau situasi dan merespons kebakaran.
Meskipun ada upaya tersebut, kebakaran hutan terus terjadi di Indonesia, dan hal ini memiliki dampak yang menghancurkan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain masalah pernapasan akibat kabut asap, kebakaran juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, yang memiliki dampak global. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk mengatasi akar masalah ini dan mencegah kebakaran hutan terjadi di masa depan.
Sebagai kesimpulan, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Selatan telah menyebabkan masalah kesehatan yang signifikan bagi penduduk provinsi tersebut. Jumlah kasus ISPA yang tinggi adalah indikasi jelas dari dampak buruk kebakaran ini pada kesehatan masyarakat. Pemerintah harus mengambil tindakan konkret dan tegas untuk mengatasi masalah ini dan mencegah bencana semacam ini terjadi di masa depan. Masyarakat Kalsel juga harus berperan aktif dalam mencegah kebakaran hutan dengan mengadopsi praktik pertanian yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Hanya dengan begitu kita dapat melindungi lingkungan dan kesehatan kita dari bahaya kebakaran hutan.