Suryadi
Penulis Buku & Pemerhati Budaya
JAKARTA, INAKORAN
“Saya bersyukur pernah menjadi jurnalis (“Panjimas”)
yang membuatnya mudah dan lancar bagi saya untuk menulis.
Begitu banyak buku saya”.
(Prof. Azyumardi Azra kepada penulis, 2001)
Kalimat Azyumardi Azra (almarhum) sangat membekas. Setidaknya bagi penulis. Bukan karena tokoh intelektual dan penulis ini sangat dekat dengan saya. Tidak, tidak sama sekali! Almarhum adalah salah satu narasumber yang sering penulis wawancarai.
Sebelum tahun 1980-an, seperti yang diakui Azyu, dia adalah seorang jurnalis untuk “Panji Masyarakat” –sering disingkat menjadi “Panjimas”.
Pada periode yang sama, majalah milik ustadz besar Buya Hamka ini merupakan salah satu media cetak dimana penulis-penulis lepas sering menulis feature ringan tentang kegiatan keagamaan (Islam).
Azyu, mantan Rektor UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta dan Ketua Dewan Pers, cukup produktif menulis buku. Dia menghasilkan banyak buku ilmiah dan ilmiah.
Jauh lebih banyak dari buku-buku yang penulis hasilkan, baik sendiri maupun bersama tim.
Namun, hingga kini kebiasaan berburu dan menggali bahan untuk menulis sebagai karya jurnalistik, membuat penulis fasih dan mudah menggali dan menulis naskah sejumlah buku.
Terima kasih wartawan dan wartawan!
Buku tentang Polisi
DARI beberapa buku yang saya tulis, sebagian besar terkait dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Akhirnya, pada pertengahan Februari – awal Agustus 2022, saya dan tim menulis naskah untuk buku “Brimob Meneruskan Semangat Sang Proklamator, Sebuah Catatan Perjalanan Kesetiaan, Keberanian dan Ketulusan di Bhayangkara Korps Brimob Korps” (Pelita, Jakarta, 2022).
Naskah buku ini ditulis oleh tim yang terdiri dari Helsi Dinafitri Nusjirwan Badwi, Budi Nugroho, Suhardi, dan Suryadi (Ketua). Penampakan buku ala majalah ini digarap oleh Bharatu Eka Putra Rahmawan, bersama peneliti Bharatu Andri Dwi Purwandi di bawah asuhan Aipda Pol. Anik Kusumawardani di Humas Korps Brimob.
Dalam buku setebal 492 halaman dan diluncurkan oleh Dankor Brimob, Komjen Pol. Drs. Anang Revandoko, MIKom bersama penulis di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jumat (10/3/23), empat tokoh termuda memberikan sambutan. Mereka adalah Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri; Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subiyanto; Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal Pol (P) Prof. Budi Gunawan; dan Kapolri Jenderal Pol. Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Bagi Mega, putri mendiang Soekarno (Bung Karno), Brimob — yang awalnya berlatar belakang Polisi Khusus (PI) sebelum berubah menjadi Brigade Mobil (Mobrig) — memiliki catatan yang dalam dan sangat privat. Hingga kini, salah satu anggota Brimob yang pernah tergabung dalam Detasemen Pengawal Pribadi (DKP) Presiden I dan keluarganya, Ribut namanya, masih menjadi “lingkaran dekat” Mega.
“Saya lahir sebagai anak Presiden di Pendopo Agung Yogyakarta, kemudian dibesarkan di Keraton.
Dari pusat kekuasaan pemerintahan itulah saya mengalami langsung seluruh dinamika politik kekuasaan, yang kesemuanya itu untuk ayah saya, Bung Karno, ditempatkan sebagai pengabdian hidup kepada Tuhan, Bangsa dan Negara Republik Indonesia. …Saya mulai mengenal standar protokol keamanan dan dalam upaya itu, saya mengenal pengawal.
Pengawal ini sudah ada di sekitar saya sejak kecil. Mereka selalu siaga, dan 24 jam nonstop untuk melindungi keselamatan Presiden dan keluarganya. Satuan jaga itu dikenal dengan DKP, yang keanggotaannya berasal dari Mobrig,” ujar Mega (p:xiii).
Buku “Anthony” antara lain memuat karangan “Bapak Brimob M. Jasin di Mata Panglima Besar Soedirman”. Ternyata, Menhan Prabowo adalah pengagum Brimob M. Jasin, putra Bau-bau, Buton, Sulawesi Tenggara. “Beliau (M. Jasin, pen) sangat berpengaruh di lingkungan Polri. Dulu Pak Jasin dan Polisi Istimewa sangat berperan besar dalam Pertempuran Surabaya, November 1945.
Salah satu keberaniannya adalah menerobos peluru musuh untuk menghentikan tembakan,” terang mantan Panglima Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu (hal: xix).
Kepala BIN RI, Prof. Budi Gunawan memandang Brimob sebagai salah satu aktor utama yang berperan dalam mengatur keamanan dalam negeri.
Kehadirannya dalam setiap episode perjalanan bangsa merupakan bukti eksistensinya yang tak terbantahkan.
“Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang ‘hulu – hilir’ dan perspektif sejarah Brimob Polri dari era pra kemerdekaan hingga pengamanan KTT G20 di Bali November 2022…”, kata Budi, alumni Akpol 1983 yang penulis kenal pada awal karirnya di Polri (1986 – sebelum 1995) (halaman: xxiii).
Sementara pimpinan tertinggi Polri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam sambutannya menyatakan bahwa penulis berhasil memaparkan secara detail kiprah perjuangan, pengorbanan dan berbagai prestasi Brimob Polri yang tentunya akan selalu diketahui. dan menjadi contoh bagi generasi Brimob selanjutnya dalam menjalankan tugas pengabdiannya.
“Oleh karena itu, saya berharap buku ini dapat menambah khazanah ilmu dan menjadi sumber inspirasi bagi seluruh personel Brimob dan berbagai lapisan masyarakat,” harap Sigit (halaman: xxvi).
Keras dan Pahit
BUKU “Brimob Lanjutkan Semangat Proklamator…” telah diluncurkan. Penulis sempat merasa kehilangan semangat untuk tampil di acara peluncuran tersebut.
Kemudian datanglah “keharusan dan kasih sayang” untuk hadir.
Apalagi, setelah dua inspektur – utusan dari Dankor Brimob melalui Komandan Resimen Brimob – diminta hadir, serta dorongan kuat dari salah satu anggota tim penulis yang tak lain adalah istri penulis. Saat itu dia terbaring lemah.
Terakhir, penulis juga tampil di acara formal tersebut. Di balik terwujudnya naskah buku tersebut, memang ada catatan yang sangat emosional. Ini menyangkut hati.
Buku tersebut sengaja dirancang oleh Tim Penulis untuk penjemputan Brimob tahun ke-77 pada 14 November 2022. Ini setelah “bergeser” dari sebelumnya, yaitu untuk menyambut pertama kali Brimob naik kelas dari Tipe “B”. ke “A”. Dengan demikian, Dankor Brimob bertanggung jawab langsung kepada Kapolri.
Saat menyelesaikan manuskrip utama dan manuskrip terakhir, 5 Agustus 2022, Helsi Dinafitri Nusjirwan Badwi, penulis yang merupakan istri penulis, terkena stroke terberat sebanyak lima kali yang dialaminya sejak September 2020. Yang selalu menjaga hati penulis antusiasme hidup adalah memori. dan pikirannya masih bekerja dengan baik. Dalam sakitnya, ia masih bisa menyediakan bahan bacaan di buku referensi dan melakukan koreksi awal naskah.
Penulis khawatir. Bolak-balik untuk menyelesaikan tulisan. Sesekali timbul “benang” antara tema sentral dan isi substansi yang telah disusun sebelumnya.
Setiap kali saya menghadap PC dan mulai mengetik, saya hanya menyelesaikan dua atau tiga paragraf, lalu tiba-tiba berhenti. Hati ini rasanya ingin selalu berada di dekatnya mendengarkan kata-katanya yang menunjukkan keinginan kuat untuk segera sembuh.
Dalam kondisi itu, wajah Ipda Suhardi melotot. Perwira Brimob pertama ini selalu menunjukkan kemauan yang kuat untuk belajar banyak, baik dalam menggali materi dari sumber maupun menuliskannya. Berbeda dengan saat dia berseragam Brimob. Lulusan hukum dan Magister Manajemen ini, banyak bertanya dan kritis.
Saking lelahnya, saat menggali bahan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), ia kemudian membuka kartu tersebut, “Kalau bukan karena Pak Sur yang lebih tua dari saya, mungkin saya akan memilih jalan saja. tinggal di kamar.”
Tak hanya itu, ada rasa berhutang dan bersalah yang besar jika tidak segera mewujudkan buku itu, ketika dua wajah muncul, Bharatu Marjohan, anggota Resimen II Kedunghalang Bogo, dan Bharatu Setian Rengga Danang Ratama, anggota Satbrimob Polda Kalteng.
Marjohan dan Setian selalu ceria dan bersemangat mengantarkan penulis ke narasumber. Mereka selalu menunjukkan empati, seolah ingin buku itu segera terealisasi.
Marjohan menggiring penulis menelusuri jejak Brimob, tidak hanya di dalam dan di pinggiran Kota Semarang, tetapi juga sampai ke Pati. Semarang adalah kota bersejarah dalam “Pertempuran 5 Hari” yang jejaknya dimainkan oleh Mobrig di bawah pimpinan Kompol Suprapto. Ini terjadi setelah di Jakarta Bung Karno – Bung Hatta (atas nama Bangsa Indonesia) memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia atau awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Selama di Kalimantan Tengah, Setian membawa kami ke pelosok Bumi Tambun Bunga. Juga di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan antara lain untuk bertemu dengan Kyai Tuan Guru Danau yang kharismatik di Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan.
Bisa dibayangkan pula ketulusan Dankorbrimob Anang Revandoko dan wakilnya, IJP Drs. Setyo Boedi Moempoeni Harso, SH, M.Hum yang memberikan kebebasan kepada penulis untuk berdiskusi dengan Karorenminops Brimob Brigjen Pol. Drs. Rudy Harianto, M.Si dan Pol. Komisaris Hendrik Budi Prasetyo, SIK, M.Si., Komisaris Rantau Isnur Eka, Komisaris Yustanto Mujiharso, dan Komisaris Anang Sumpena. Serta Komandan Satuan, seperti Kombes Yopie Prasetya Sepang (Jawa Tengah), Kombes Suryo Sudarmadi (Kalimantan Tengah), Kombes Iwan Sazali (Sulawesi Barat), dan Kombes Wahyu Wudiarso (Lampung). Semua memperkaya dan membangun cara pandang penulis dalam menulis.
Naskah buku digali dari berbagai sumber dan sejumlah referensi. Sebanyak delapan bulan sejak pertengahan Februari 2022 saat awal bertukar pandang dengan Komjen Anang Revandoko.
Penulis semakin termotivasi untuk menulis ketika terjadi “Tragedi Duren Tiga” yang menewaskan Briptu Joshua.
Korban merupakan anggota Brimob sebelum bertugas di Divisi Propam Polri. Penembak juga merupakan perwira paling bawah Brimob, Bharada Eliezer yang merupakan salah satu Ajudan Kepala Divisi Propam saat itu, IJP FS. Yang terakhir divonis mati oleh pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam benak penulis, Eliezer adalah seorang prajurit yang harus “Siap Melaksanakan Jendral” setiap kali diperintah oleh atasan, apalagi atasannya adalah seorang jenderal. Meminjam judul buku Agus Widjojo “Mengapa Prajurit Berpikir?”
Setidaknya, hingga sebelum 5 Agustus 2022 saat Helsi mengalami stroke terparah. Ia sosok yang paling kuat bekerja keras menuntaskan “Brimob Terus Semangat Proklamator….”.
Akhirnya naskah buku lahir dari tangan empat tim penulis dan juga telah diterbitkan. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Dimulai dari peran DKP untuk Keselamatan Presiden I dan keluarganya; kemudian dilanjutkan antara lain dengan Perjalanan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang mendorong urgensi Pelantikan DPR RI periode 2019 – 2024 di tengah “pro dan kontra keras” terkait hasil pemilu 2019 di kalangan pemilih. peserta Pilpres saat itu.
Buku “Brimob Meneruskan Semangat Proklamator….” Selain meliput kepemimpinan Anang Revandoko saat menjabat Kapolda Kalteng sebelum kembali ke Brimob sebagai Dankor, juga dipaparkan berbagai prestasi personel Brimob di bidang olahraga, hingga suksesnya penyelenggaraan KTT G20 Bali.
Di bagian akhir buku terdapat esai karya aktivis 1998 Dr. Usmar bersama Suryadi dan Helsi Dinafitri yang mengangkat judul “Meningkatkan Kelas di Era Post Truth”.
Apapun rangkaian isi buku tersebut, seperti saat menyampaikan peluncuran “Brimob Teruskan Semangat Proklamator….”, penulis melakukan otokritik, “Buku seperti ini selalu perlu disempurnakan dan diperkaya ke depannya. “.
Memang, sebagai karya manusia tidak ada buku yang sempurna. Jadi, tidak ada buku yang ditulis juga. Setidaknya menurut penulis!**
E/ADI/JURNALISTIK