Koran: Nieuwsgier, Jakarta, terbit 22 Maret 1956
Ada tiga tokoh Banua dari Hulu Sungai yang patut kita perhatikan pada masa Orde Lama karena berhasil menduduki jabatan politik setingkat menteri pada era Sistem Parlementer tahun 1950-an. Jabatan setingkat menteri merupakan jabatan yang tinggi dan prestisius, sehingga selalu menjadi perhatian.
Dan kehadiran orang-orang dari Hulu Sungai dalam putaran Politik Pemerintahan Pusat di Ibukota juga merupakan prestasi tersendiri, mengingat Hulu Sungai merupakan daerah pedalaman di Pulau Kalimantan.
Namun perlu diperhatikan juga bahwa istilah “pedalaman” bukan berarti selalu tertinggal, bahkan Hulu Sungai merupakan pusat peradaban dan intelektual pada zamannya, tentunya dengan tingkatannya masing-masing, apalagi pada zaman dahulu. Era Orde ketika Republik Indonesia baru berumur beberapa tahun.
Prasangka bahwa Kalimantan adalah daerah belantara dan tertinggal, ada baiknya kita berpikir ulang, mari kita lihat 3 orang dari hulu sungai yang berhasil mencapai posisi menteri di era Orde Lama, meski dengan data yang sedikit dan terbatas. didapat, sebagai berikut:
Di Banjarmasin dibentuk Dewan Otonomi Daerah Banjarmasin. Ketua Dewan, Moh. Hanafiah menandatangani berita acara setelah dilantik. Moh. Hanafiah adalah Ketua Ikatan Pejabat Pemerintah Indonesia di Kalimantan Selatan (sumber Tropen Institute).
1. Mohammad Hanafiah
Ia lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan 17 Juni 1904, putra pertama dari H Kamaruddin dan Haji Safiah. Ayahnya Haji Kamarudin berasal dari Sungai Malang di Amuntai, beliau adalah seorang guru pada Zaman Penjajahan, keturunan dari pemimpin kelompok Baraatip Baamal bernama Haji Abdullah yang gugur dalam pertempuran di Amuntai.
Baratip Baamal adalah kelompok pejuang dalam Perang Banjar yang berlandaskan ajaran Islam. Sedangkan ibunya bernama Haji Safiah keturunan Kiai atau Bupati Amandit bernama Kiai Durabu, dalam Laporan Almanak Belanda pada Masa Kolonial, Kiai Durabu menjabat sebagai Bupati Amandit (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) pada awal Tahun 1860-an, kiai Durabu menjabat sebagai Bupati Amandit dan menjabat hampir 30 tahun, ketika Perang Banjar masih berkecamuk, kemudian putranya yang bernama Kiai Zam-Zam Bin Kiai Durabu menggantikannya sebagai Kiai di Kecamatan Mandit hingga awal tahun 1900-an.