Jembatan penyeberangan kayu di Pulau Bromo kembali menimbulkan korban jiwa. Pada Jumat (7/4) sore, seorang lelaki tua penjual es keliling terjerembab. Lalu terjun ke sungai bersama sepeda dan dagangannya.
Video tersebut tersebar luas di grup aplikasi WhatsApp. Peristiwa itu terjadi persis di RT 6, Desa Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan. Ayu dan warga sekitar sudah mewanti-wanti penjual es agar tidak melintasi titian.
Menurut dia, jembatan tersebut terlihat rusak sejak dua hari terakhir. Ada lubang besar. Fondasi kayu di bawah titian juga lapuk dan bengkok. “Bahkan tidak ada yang berani mengendarai kendaraan. Pilih parkir di pinggir jalan, atau di pekarangan warga,” jelasnya, (7/4) malam.
Ayu menyaksikan, awalnya penjual es keliling masih bisa lewat. Namun, bukan untuk kedua kalinya saat berbalik arah untuk pulang. Saat itulah titian langsung roboh. “Ambruk saja. Dia tenggelam dalam sepeda dan barang dagangannya. Saya sangat menyesal,” katanya.
“Dia sempat bilang, di mana belum ada sale yang laku,” tekannya. “Saya tidak melihat dia terluka atau apa. Tapi yang pasti dia terlihat basah kuyup,” ujarnya. “Banyak warga yang membantunya naik, dan mengamankan barang dagangan serta sepedanya,” tambah warga RT 6 itu. jembatan penyeberangan kayu di Pulau Bromo yang begitu lapuk hingga compang-camping bukanlah cerita baru, namun sudah puluhan tahun terjadi pada masyarakat Pulau Bromo, termasuk cerita tentang banyaknya penduduk atau orang yang terperosok ke dasar. karena akses ke jembatan.
“Sudah tak terhitung. Dulu ada juga warga yang bawa kulkas pakai kendaraannya, mereka juga ikut bawa kendaraan dan kulkasnya,” tambah warga lainnya, Supiah. Menurutnya, warga sudah sering meminta perbaikan. Dinas terkait sudah sering melakukan kajian, pengukuran, dan menjanjikan perbaikan, namun tidak pernah terwujud, kalaupun ada perbaikan, selama ini hanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
Hal itu dibenarkan M Arsyad, jemaah Masjid Astral Bina di kawasan itu. Ia mengatakan, setiap minggu bersama warga sekitar selalu melakukan perbaikan akses jembatan penyeberangan.
“Kami pasang kayu bekas yang bisa dimanfaatkan. Menambal lubang atau kayu yang lepas,” ujarnya sambil berharap segera ada bantuan perbaikan dari pemerintah daerah.
“Kami tidak pernah meminta perbaikan besar-besaran. Asalkan diperbaiki. Kasihan warga atau anak-anaknya,” harap warga lainnya, Sri. Untuk diketahui, Pulau Bromo terdiri dari empat RT. Di antaranya RT 4, RT 5, RT 6, dan RT 7. Dengan total penduduk lebih dari 1.000 jiwa.
Mayoritas penduduk Pulau Bromo berprofesi sebagai petani, buruh pabrik, serta pengumpul batu bara. Kalaupun ada ASN yang bekerja, hanya segelintir.
Warga yang tinggal di pulau itu masih hidup menderita. Selama belasan tahun, akses berupa jembatan penyeberangan di sana tidak pernah diperbaiki. Jembatan penyeberangan yang menjadi akses utama jauh dari layak. Sebagian besar tampak tambal sulam. Ada banyak lubang di jembatan penyeberangan. Jembatan penyeberangan juga berderit dan bergoyang saat dilewati.
Bagaimana tanggapan dari departemen terkait? Perbaikan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Banjarmasin. Tepatnya di bulan Oktober 2022.
Panjang jembatan yang diperbaiki adalah 100 meter. Berpisah di dua lokasi. Di RT 4 dan RT 7. Posisi persisnya berada di dua ujung Pulau Bromo. Lebar jembatan penyeberangan adalah 1,5 meter. Semua bahan terbuat dari kayu ulin alias kayu ulin.
Karena dianggap mendesak, perbaikan titian menggunakan sistem penunjukan langsung (PL). Dana yang dikucurkan sebesar Rp 200 juta. Bersumber dari APBD 2022.
Tahun ini, perbaikan dijanjikan akan dilanjutkan secara keseluruhan. Dana yang dikucurkan Rp 4 miliar. Kapan perbaikan lanjutan akan dimulai? Kepala Dinas PUPR Banjarmasin Suri Sudarmadiyah hanya menjawab singkat. Secepat mungkin.
“Saat ini kami sedang melakukan tender,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, kemarin (7/4) malam.
Apakah benar hal itu merupakan masalahnya? Melihat website LPSE, perbaikan wilayah memang terlihat dalam paket perencanaan. Namun, belum diketahui posisinya di Pulau Bromo atau tidak.
Pasalnya, bunyi paket perencanaan hanya mencakup perbaikan lingkungan permukiman di kawasan Desa Mantuil. Dana yang disalurkan Rp 3,9 miliar. Bersumber dari dana APBD 2023.
Dikonfirmasi ulang apakah ada rencana perbaikan di kawasan Pulau Bromo, Suri mengiyakan. “Minta doa. Mudah-mudahan perbaikan berjalan lancar,” tutupnya.
Jangan Menggeser Anggaran untuk Perbaikan
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Banjarmasin, Afrizaldi angkat bicara terkait lambatnya penanganan jembatan penyeberangan di kawasan Pulau Bromo.
Politisi PAN itu menyebut, rencana perbaikan jembatan penyeberangan di kawasan Pulau Bromo sebenarnya sudah dianggarkan sejak lama. Namun, dia menyayangkan lambatnya pengurusan dokumen proses tender proyek.
Padahal perbaikan itu sangat mendesak dan dibutuhkan oleh masyarakat. “Kami sudah berkali-kali memberikan masukan agar perencanaan bisa dilakukan secepatnya, karena ini berkaitan dengan keselamatan masyarakat,” tegasnya, kemarin (7/4).
“Masyarakat bisa menggugat pemerintah ketika tidak diberikan fasilitas, atau mengalami kecelakaan karena fasilitas yang diberikan pemerintah sebenarnya tidak memadai,” tegasnya.
“Masyarakat yang membayar pajak berhak atas APBD. Dalam hal ini pembangunan atau infrastruktur yang tepat,” imbuhnya.
Afrizal kemudian mengingatkan Pemko agar tidak terlalu sering melakukan pelenturan atau hanya fokus mengembangkan kawasan pusat kota. “Kesan ini seperti lipstik yang hanya ingin memoles kecantikan. Padahal tidak,” cibirnya.
“Sedangkan di pedesaan dan daerah terpencil banyak yang membutuhkan, dan pembangunan hampir tidak tersentuh,” imbaunya.
Afrizal juga mengingatkan agar anggaran yang dikeluarkan untuk perbaikan jembatan penyeberangan di Pulau Bromo tidak dialihkan untuk kegiatan lain. Ini seperti sudah.
“Berkali-kali kami berebut anggaran, tapi ternyata berkali-kali digeser. Saya tidak tahu untuk perhitungan apa, sehingga perbaikan ke arah itu tidak pernah dinaikkan,” tegasnya.
Menurut Afrizal, penghitungan skala urgensi yang dilakukan pemerintah berbeda dengan aspirasi masyarakat.
“Pemerintah membangun segala sesuatu yang skala urgensinya tidak jelas. Namun, di satu sisi, masyarakat yang sangat membutuhkan malah tidak tertampung,” kritiknya.