Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), skala gagal panen mencapai 87 persen. Sedangkan di Kabupaten Barito Kuala baru bisa panen 60 persen
KANDANGAN – Pemkab HSS mencatat peningkatan drastis gagal panen di kawasan berjuluk Bumi Antaluddin itu. Data tahun 2021, dari luas tanam 38.061 hektar terjadi gagal panen seluas 122,9 hektar.
Sedangkan data tahun 2022 hingga Oktober, dari luas tanam 29.482 hektar terjadi gagal panen seluas 1.747,2 hektar. Itu berarti mencapai 87 persen. Kepala Dinas Pertanian HSS, Muhammad Noor, mengatakan gagal panen disebabkan penyakit tungro. Dipicu oleh serangan wereng hijau selama pembibitan.
Ditambah lagi dengan anomali cuaca seperti fenomena La Nina atau kemarau basah. “OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) ini banyak menyerang lahan sawah di Kecamatan Sungai Raya dan Simpur. Menyerang varietas lokal yang tidak tahan serangan hama penyakit,” ujarnya (20/12).
Noor merinci luas gagal panen di Kabupaten Sungai Raya mencapai 25,77 hektare, Simpur 32,58 hektare, dan Kalumpang 10 hektare. Meski begitu, dia berani mengklaim, produksi beras HSS tidak mengalami penurunan. Bahkan surplus.
Pasalnya, lumbung beras lainnya di Kecamatan Telaga Langsat, Padang Batung, Angkinang, dan Kandangan tidak mengalami gagal panen.
Kantornya mencatat produksi gabah kering giling sebanyak 119.189 ton atau beras sebanyak 75.089 ton. “23.094 ton dikonsumsi. Jadi masih surplus 51.995 ton,” ujarnya.
Kepada petani, dia meminta mereka memilih bibit unggul yang lebih tahan hama.
Salah satu petani Simpur yang mengalami gagal panen, berencana beralih ke bibit unggul. “Rencana tahun depan beralih dari benih lokal ke benih unggul,” ujarnya.
Di lumbung padi Kalsel lainnya, di Kabupaten Barito Kuala, skala gagal panen mencapai 40 persen. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Batola mencatat, dari lebih dari 90.000 hektare, hanya 57.000 hektare yang bisa dipanen. “Sekali turun. Ini jadi masalah,” kata Kepala Bidang Tanaman Pangan Ghozali Ansyah kepada Radar Banjarmasin kemarin (20/12).
Kegagalan ini dipicu oleh serangan tungro dan sawah terus tergenang air. “Terlalu banyak air. Kalau dibandingkan dengan manusia, nasi jadi mengganggu tapi kada wani babini (badan besar tapi tidak berani kawin),” imbuhnya.
Ditanya solusinya, Ghozali mengaku kelebihan air bisa dikendalikan secara mikro. Tapi dari sudut pandang makro (alam), memang sulit. Beras rusak ini tersebar di Kecamatan Anjir Muara, Anjir Pasar, Rantau Badauh, sebagian Marabahan, dan Kecamatan Taurkan.
Namun, Ghozali yakin, para petani Batola belum menyerah. Mereka masih bersemangat menghadapi musim tanam berikutnya.
“Bukan berarti saya menampik ada juga yang bertahan bertani karena tidak ada pilihan pekerjaan lain,” ujarnya.
Sementara, ada seribu hektare yang mendekati masa panen. Sebagian berada di Kecamatan Mandastana dan Belawang. “Dua bulan lagi panen. Ini bisa membantu ketahanan pangan kita,” ujarnya. Lalu, apa solusinya? Dia menjawab, pemkab sudah memberikan input (penyaluran sarana produksi) bagi petani. Dalam bentuk pupuk dan herbisida. “Ini sebagai pemanis (perangsang) bagi yang ingin menanam kembali,” pungkasnya.
Kemudian, meminta petani beralih ke varietas unggul yang lebih tahan serangan hama. Terakhir, meminta petani menunda masa tanam saat ketinggian air masih tinggi. (shn/bar/gr/fud)