Oleh: Kadarisman (Presidium DPRD KAHMI Tabalong)
Kritik bukanlah hal yang tabu dalam peradaban, apalagi di negara-negara demokrasi. Kritik adalah bagian dari usaha manusia untuk menyarankan dan menemukan dasar-dasar sesuatu agar jelas mana yang benar dan mana yang dianggap salah.
Kritik bukanlah racun. Harus diakui bahwa kritik adalah pil pahit. Saat Anda belum siap, Anda bisa terengah-engah. Tapi kalau siap bisa bikin sehat. Kalau kritikan itu berupa sesuatu yang manis-manis namanya pujian, kalau terbuai bisa ngiler lalu mati karena kelebihan kadar diabetes.
Senayan dan Istana kaget. Intinya, jangan terima sikap pengesahan Perppu Ciptaker hits BEM UI. Aksi bela diri dan korps DPR tidak bisa ditutup-tutupi. Wakil rakyat kecewa, karena berharap kritik tidak lepas dari nilai etika dan tata krama, kritik BEM UI dianggap tidak etis.
BEM UI membuat meme ketua DPR berbadan tikus di atap gedung Senayan. Hal ini dinilai kurang tepat, karena tidak ada kaitan antara pengesahan Ciptaker dengan korupsi yang disimbolkan dengan tikus.
Ekspresi BEM UI keterlaluan. Itu keterlaluan menurut mereka yang terlibat dalam pengesahan Perppu Ciptaker. Tapi di mata rakyat, para buruh benar-benar pil pahit yang harus ditelan saja, agar wakil rakyat cepat sembuh dari “penyakitnya”.
Para wakil rakyat lupa bahwa pengertian korupsi tidak hanya terkait dengan uang dan materialisme. Perilaku menyimpang, sikap tidak percaya, merugikan rakyat, mendukung hal-hal yang inkonstitusional juga dikategorikan sebagai korupsi.
Robert Kilgaard, seorang akademisi Amerika dan mantan Presiden Claremont Graduate University mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsinya karena perolehan status atau kepentingan kelompok, tidak terbatas pada individu.
Kebijakan yang mereka buat dan undang-undang adalah bagian dari sistem legal formal tetapi mengandung roh jahat, menguntungkan sekelompok kecil orang tertentu dan membuat sekelompok besar orang menderita.
Perilaku demikian juga merupakan bagian dari korupsi terselubung yang sulit dideteksi tanpa terjerat hukum formal.
Namun sebenarnya sebuah kritik harus diposisikan dan dilihat sebagai bagian dari demokrasi dan dinamika negara. pada dasarnya setiap kritik dan gambar tidak berarti apa-apa.
Ia bermakna setelah setiap orang memberi nilai dan makna sesuai dengan kedudukannya berdiri.
Kritik BEM UI dinilai berlebihan dan tidak mencerminkan sikap akademik dan proporsional. Penilaian ini cocok bagi mereka yang saat ini duduk di parlemen.
Namun, kritik BEM juga bisa mencerminkan sikap intelektual dan idealisme kaum terpelajar yang menganggap tidak perlu basa-basi untuk menyampaikan dan menyadarkan para wakil rakyat yang kerap bertopeng kebaikan. Posisi ini cocok untuk elemen masyarakat lainnya, termasuk mahasiswa.
Etika dan tata krama yang ditampilkan menjadi tidak penting ketika wakil rakyat mengabaikan aspirasi rakyatnya dan memilih berkompromi dengan eksekutif yang lebih berpihak pada kekuasaan oligarki.
Sikap seperti itu tidak hanya menunjukkan ketidaksopanan, tetapi cenderung sikap pengkhianatan dan lebih tidak etis dari kritikan BEM UI.
Reaksi BEM UI merupakan dampak dari tindakan pemerintah dan DPR yang tidak mengindahkan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman yang harus dipatuhi.
Sangat jelas dan gamblang, Mahkamah Konstitusi dengan tegas memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa undang-undang itu inkonstitusional bersyarat.
Apa artinya? Bahwa UU Ciptaker tidak dapat dilaksanakan karena inkonstitusional sampai dengan terpenuhinya syarat-syarat yang diperintahkan untuk menjadi konstitusional.
Tetapi pemerintah tidak tergerak. Perintah MK tidak dipenuhi dan dilaksanakan. Alih-alih menyempurnakan UU Ciptaker, pemerintah menerbitkan Perppu tentang UU Ciptaker yang menurut BEM UI tidak memenuhi unsur dan syarat Perppu. Tidak ada krisis yang memaksa yang menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Perppu.
Langkah pemerintah tersebut merupakan tipu muslihat dan otoriter yang terang-terangan menentang peradilan.
UU Cipta Kerja yang dipersoalkan cacat formil tetap ditegakkan melalui Perppu yang dinilai sebagai kudeta dan pembangkangan terhadap konstitusi negara.
Sayangnya DPR yang merupakan kekuasaan rakyat di parlemen setuju dengan pembangkangan pemerintah. Legitimasi yang diberikan rakyat kepada anggota DPR tidak dijadikan alat untuk mengawal kepentingan rakyat. Masyarakat dipelintir dengan sikap kompromistis menjadi gerbong yang tidak patuh pada perintah MK.
Kejadian inilah yang kemudian membuat BEM UI lantang menyindir dengan meme bergambar Ketua DPR yang membuat warga Senayan membakar jenggot.
Tak ada salahnya BEM UI menyindir DPR lewat narasi gambar meme Puan Maharani sebagai simbol parlemen.
Yang salah kenapa DPR tersinggung, padahal yang mereka lakukan adalah memutilasi perintah MK untuk mengubah UU Ciptaker, tapi tidak dilakukan.
Jika kita mengukur nilai yang dikritik BEM UI dengan apa yang dilakukan DPR, mana yang lebih tidak berharga?
BEM UI dan DPR tidak perlu mempersoalkan moral, etika, tata krama dan kesusilaan. Nilai tidak masalah. Yang terpenting adalah bagaimana semua pihak dapat merefleksi diri dan konsisten berada pada jalur sikap dan aktualisasi yang berlandaskan moralitas.
Renungkan diri, perbaiki diri, itu pilihan yang tepat agar pihak lain bisa sama dengan nilai-nilai yang dituturkan. Wallahu’alam bisawab*