Baru-baru ini muncul foto kota Saranjana yang konon tak terlihat di foto seorang dokter bernama Devi di atas Bukit Mamake, Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Foto pengalaman Devi dan suaminya ini dibagikan di media sosial TikTok hingga viral.
Devi mengatakan, saat itu dirinya sedang berfoto di atas Bukit Mamake dalam kondisi berkabut. Kemudian, mereka memutuskan untuk turun dari bukit.
Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, Devi kembali melihat-lihat foto suaminya.
Ia sangat terkejut melihat foto dirinya berdiri di depan sebuah bukit sebagai latar belakang, yang tampak seperti cahaya gedung-gedung tinggi seperti kota modern dari kejauhan.
“Aduh, di balik itu kok ada bangunan,” tanya Devi kepada suaminya, dikutip dari TribunJateng, Minggu (8/1/2023).
Kemunculan bangunan modern ini juga terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat akan keberadaan kota magis Saranjana.
Dari kabar yang tersebar, beberapa orang berhasil memasuki kota, kota tersembunyi dengan jalan lebar dan rumah bangsawan dengan pagar tinggi.
Masyarakat setempat percaya bahwa kisah kota magis Saranjana juga memiliki gedung pencakar langit dan mobil mahal.
Tak hanya itu, disebutkan bahwa kota ini dihuni oleh jin muslim. Ada juga yang menduga bahwa penghuninya adalah makhluk gaib.
Tanggapan ahli
Mengenai asal kata Saranjana, dosen Departemen Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, melakukan analisis dari perspektif sejarah ilmiah terhadap sejarah Saranjana.
Melalui akun Facebook Sammy’xnyder Istorya, Mansyur menulis tentang Saranjana dengan tiga versi lokasi menurut hasil pencariannya.
Pertama, Saranja diduga berada di Kotabaru, Kalimantan Selatan; kedua, di Teluk Tamiang, Pulau Laut; dan ketiga, di sebuah bukit kecil yang terletak di Desa Oka-oka, Kecamatan Pulau Kelautan, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Menurutnya, Saranjana merupakan fakta jika dilihat dari perspektif sejarah.
Berdasarkan peta yang dibuat oleh Salomon Muller, seorang naturalis Jerman, di Heidelberg, dalam petanya yang berjudul “Kaart van de Kust-en Binnenlanden van Banjer each behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedelte van Borneo” (peta pesisir dan daerah pedalaman Kalimantan).
Peta ini dibuat pada tahun 1845 menggambarkan bahwa ada tempat yang ditulisnya sebagai Tandjong (Hoek) Serandjana.
Tercatat, letak Tandjong berada di selatan Pulau Laut, tentunya berbatasan dengan kawasan Poeloe Kroempoetan (Pulau Rumput) dan Poeloe Kidjang.
Salomon Muller dikenal sebagai anggota kartografer des Genootschaps en Natuurkundige Komissie di Nederlands Indie yang mendapat pelatihan dari Museum Leiden dan saat ini sedang melakukan perjalanan penelitian ke dunia hewan dan tumbuhan kepulauan Indonesia.
Namun, belum bisa dipastikan apakah Salomon pernah mengunjungi Tandjong (Hoek) Serandjana sebelum memetakannya.
Selain itu, Salomon Muller juga tidak menyebut lokasi ini dalam beberapa artikel yang diterbitkan oleh Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Sedangkan peta yang memuat Tandjong (Hoek) Serandjana diterbitkan dalam Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel, seri pertama yang diterbitkan oleh Staatsbibliothek zu Berlin.
Peta ini dibuat 18 tahun sebelum Salomon Müller meninggal pada tahun 1863.
Mansyur juga menulis bahwa sumber lain yang memuat Serandjana adalah Pieter Johannes Veth, dalam kamus yang diterbitkan di Amsterdam oleh PN van Kampen, tahun 1869.
Dalam kamus berjudul “Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie: bewerkt naar de joust en beste berigten”, halaman 252.
Veth menulis “Sarandjana, kaap aan de Zuid-Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo’s Zuid-Oost punt is gelegen” (Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut, yaitu sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Kalimantan).
Dari segi terminologi, jika dibandingkan dengan kosa kata bahasa India, “Saranjana” berarti tanah yang diberikan.